Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, karena itu berhak
mendapatkan perlindungan. Selain itu, anak merupakan generasi penerus
bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar mereka dapat
tumbuh dengan wajar, hidup dalam lingkungan yang kondusif, dapat
berkembang normal secara jasmani maupun rohani, untuk dapat mencapai
kedewasaan yang sehat, demi kepentingan terbaik bagi anak.
Mencermati pemberitaan yang terkait dengan anak di tanah air, seringkali
anak justru menjadi korban, obyek eksploitasi dan diungkapkan
identitasnya antara lain wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah
secara segaja ataupun tidak sengaja sehingga anak tidak terlindungi
secara baik. Bahasa pemberitaan terkait anak terkadang menggunakan
bahasa yang kasar dan vulgar. Media penyiaran juga kerap menampilkan
sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng atau diblur wajahnya namun
masih bisa dikenali ciri-cirinya.
Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak dan membuat Undang-Undang
yang melindungi hak anak dalam hal ini Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait
perlindungan anak. Antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(16 th), Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak
(18 th) dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-Undang
Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi
Kependudukan (17 th).
Oleh Karena itu komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan,
perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat, membuat suatu Pedoman
Penulisan Ramah Anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan
jurnalistik. Wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus
dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu
peristiwa yang perlu diketahui publik.
Pemberitaan Ramah Anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers
menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan
melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang yang terlibat
persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau
korban.
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, baik masih hidup
maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.
Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi
yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak
seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi,
kakek/nenek dan tidak keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat
desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda-benda khusus
yang mencirikan sang anak.
Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah sebagai berikut:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi
tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan
pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan
kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau
tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan
sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di
luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian,
perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta
kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak
traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang
peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual
dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau
pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif
pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual
yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan
pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan
pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang
menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak
tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan
mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui
keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak
tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh
orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang
mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh
Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan
Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.
Jakarta, 9 Februari 2019