SYAHDAN, denyar-denyar di hati adalah sunyi sepaling hakiki. Ia tidak muna k; tidak bisa berdusta, tidak mampu menutupi yang kita rasakan; tidak bisa menyembunyikan diri dari topeng-topeng yang kerap kita kenakan. Ia akan membuat kita begitu telanjang sebagaimana adanya. Ia akan tampak seperti cermin yang mere eksikan diri kita yang sesungguhnya.
Hatilah sebetulnya kompas hidup setiap orang. Ialah yang bercahaya saat jalan yang kita tempuh tampak buram dan gulita. Ialah yang membuat kita bisa berkata ya atau tidak pada momen-momen terpuruk. Itulah kenapa disebut hati nurani --dari akar kata “nur” (b. Arab)-- yang maknanya cahaya.
Maka, hati nurani adalah hati yang bercahaya, kalbu yang menerangi jiwa.
Mari kita telisik satu kisah kecil dalam hadis berikut ini:
Seorang sahabat bernama Wabishah bin Ma’bad suatu kali pernah bercerita:
”Saya datang kepada Rasulullah saw, dan saya ingin agar tidak ada sesuatu baik itu kebaikan atau keburukan kecuali saya telah menanyakannya pada beliau. Saat itu di sisi beliau terdapat sekelompok sahabat, maka saya pun melangkahi mereka hingga mereka berkata: “Hai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah saw!Menjauhlah hai Wabishah!”
“Saya Wabishah. Biarkan saya mendekat pada beliau, karena ia adalah orang yang paling saya cintai untuk berdekatan dengannya,” begitu jawab saya.
Maka beliau pun bersabda:
“Mendekatlah, Wabishah! Mendekatlah, hai Wabishah!”
Lalu, saya mendekat ke arahnya sehingga lutut saya menyentuh lutut beliau, kemudian beliau bersabda:
“Wahai Wabishah, aku akan memberitahukan (jawaban) kepadamu sesuatu yang menjadikanmu datang kemari.”
Saya berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada saya”.
Maka beliau pun bersabda: “Engkau datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa)”. Saya berkata, “Benar”. Beliau lalu menyatukan ketiga jarinya dan menepukkannya ke dada saya seraya bersabda: “Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari hatimu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu dan manusia memberimu fatwa (membenarkan)”. (Musnad Ahmad, no.180001)
Saya. Anda. Kita. Setiap kita tentu mafhum bahwa petuah Nabi kepada Wabishah tersebut adalah pesan yang akhirnya tidak bisa kita tampik, pesan bahwa setiap orang sejatinya tidak bisa kibul-mengibul di hadapan diri sendiri; sekalipun ia berdalih dengan argumen yang paling canggih atas laku celanya agar dianggap benar dan lurus.
Kelak, hati kecilnya lambat laun akan mengajaknya berdamai bahwa itu keliru, bahwa ini tidak benar.
Di hadapan manusia lainnya, ia boleh setenang danau, namun di hadapan dirinya sendiri ia risau dan gelisah tidak karuan. Makan. Minum. Tidur. Dalam sendiri. Dalam kerumunan.
Ia pasti akan terus-menerus kepikiran, langsung atau tidak langsung. Ia akan bergumul untuk “menikah” atau “bercerai” dengan diri sendiri. Ia menikah berarti: ia yang selaras seiring antara zahir dan batinnya. Ia bercerai berarti: ia yang berseteru dan berpisah antara sikap lahiriah dan sikap batiniahnya. Artinya ia yang hidup dan menghidupkan hati kecilnya adalah ia yang menikahi diri sendiri. Sebaliknya, ia yang menelantarkan nuraninya adalah ia yang telah menceraikan dirinya sendiri.
“Jangan pernah melakukan hal-hal yang menentang hati nuranimu, meski negara sekalipun menuntutnya,” begitu Albert Einstein pernah berujar.
Untuk itulah, seseorang yang mengaku Muslim (atau bisa jadi bukan seorang Muslim) jika dalam satu kesempatan terlihat biasa-biasa saja selepas menorehkan luka buat orang lain, sejatinya itu bukan ia tidak menyadarinya.
Tapi, ia sedang “bercerai” dengan dirinya sendiri; ia tengah menyembunyikan bisikan hati kecilnya kalau itu keliru atau dosa, atau borok atau cela. Sebab, sejatinya, potensi menelisik kebaikan dan keburukan sudah embedded di dalam setiap manusia; sudah ditanamkan Tuhan hadapan diri sendiri; sekalipun ia berdalih dengan argumen yang paling canggih atas laku celanya agar dianggap benar dan lurus.
Kelak, hati kecilnya lambat laun akan mengajaknya berdamai bahwa itu keliru, bahwa ini tidak benar.
Di hadapan manusia lainnya, ia boleh setenang danau, namun di hadapan dirinya sendiri ia risau dan gelisah tidak karuan. Makan. Minum. Tidur. Dalam sendiri. Dalam kerumunan. Ia pasti akan terus-menerus kepikiran, langsung atau tidak langsung. Ia akan bergumul untuk “menikah” pertama untuk mengetahui dan menyibak hakikat yang ia perbuat: baik-buruk, positif- negatif, dan seterusnya, dan sebagainya.
“Mengapa engkau mondar- mandir seperti seorang
di dalam jiwanya. Karena itulah, hati adalah timbangan
pertama untuk mengetahui dan menyibak hakikat yang ia perbuat: baik-buruk, positif- negatif, dan seterusnya, dan sebagainya.
“Mengapa engkau mondar- mandir seperti seorang di dalam jiwanya. Karena itulah, hati adalah timbangan pengemis? Renungkan kelapangan hati dalam dirimu,” demikian Rumi menegaskan dalam Mastnawi-nya.
KOMENTAR ANDA