TERBERKAHILAH perempuan yang saat ini baru menjadi ibu. Terberkahilah perempuan yang barangkali telah bertahun-tahun menjadi ibu. Terbekahilah anda yang mungkin tengah berjihad menyandang predikat ibu.
Nafas ibu adalah doa, adalah cinta, adalah keajaiban ruhani yang mungkin tidak akan pernah lekang dimakan zaman, bahkan hingga Hari Pengadilan kelak. Sebagai anak, Anda boleh jadi merasakan perkara ini. Dan mungkin pernah pada satu momen meragukannya karena ego masa muda yang lindap dan membebat jiwa Anda. Namun, kini, ketika Anda tengah menjadi ibu Anda mulai menyadari haqqul yakin akan posisi luarbiasa seorang ibu. Pelan-pelan, entah dalam kesunyian entah dalam keramaian, relung kalbu Anda mulai mengamininya dengan hati yang basah. Bahwa ibadah menjadi ibu itu ibadah teramat mahal dan berharga. Lamat-lamat Anda mulai mafhum: O, betapa makjleb sabda Baginda Nabi Muhammad saw yang masyhur itu: "Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi saw menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi saw, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian besar ulama, Imam Qurtubi misalnya, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penyebutan nama ibu sebanyak tiga kali dalam hadis tersebut adalah berdasarkan pertimbangan peran ibu terhadap anak sejak mulai dari kandungan, melahirkan, hingga menyusui dan merawatnya. Bayangkan, ia -perempuan- menyisihkan segalanya demi anak. Lapar. Haus. Waktu. Kasih. Ia rela memilih menanggung tugas itu demi anak.
Tak aneh, betapa banyak muslimah yang meninggalkan karir moncer demi menjadi ibu secara kaffah. Meski, tak soal kemudian, bila ada yang memilih menjadi ibu plus berkarir plus selama semua tercover dengan baik. Penulis sendiri melihat penyebutan nama ibu tiga kali dalam hadis tersebut bukan sekadar tanggungjawab level tinggi terhadap anak, tapi juga kesadaran spiritual yang berkait dan bertaut dalam tiga aras: dirinya sebagai ibu, dirinya sebagai istri, dan dirinya sebagai perempuan. Ia serupa memiliki tiga nyawa agar semua aras itu terpenuhi dengan baik dan ciamik.
Nyawa pertama dalam pengertian beribadah sebagai ibu yakni Anda mulai mafhum bahwa andalah sang murabbi pertama dan utama anak-anak Anda. Andalah guru sekaligus sekolah anak-anak. Andalah penentu laku lampah anak-anak kelak. Andalah penentu sehat raga-sejat jiwa anak-anak. Sedang, guru-gurunya di sekolah sejatinya hanya pelengkap, hanya pengisi sekunder mental dan spiritualitas anak-anak. Tidak ada nutrisi intelektual dan spiritual sepaling hakiki kecuali dari ibu itu sendiri. Bukankah banyak narasi ihwal tokoh-tokoh besar di negeri ini yang sebetulnya tidak lepas dari peran ibundanya. A mother is better than hundreds of teacher. Demikian pepatah bijak asing pernah menyebutnya.
Sementara nyawa kedua, yakni kapasitas sebagai istri, Anda mesti menanggung amanah luar biasa sebagai pendamping suami, ayah anak-anak Anda: bagaimana caranya agar hak dan kewajiban sang suami terpenuhi, bagaimana jalannya agar kebutuhan lahir dan batin suami terwadahi dengan apik dan baik.
Sedang yang terakhir, kapasitas Anda sebagai perempuan sendiri, atas nama diri sendiri yang sejatinya tidak bisa Anda mengabaikannya begitu saja adalah Anda punya hak dan kewajiban terhadap diri sendiri yang mesti ditunaikan. Bahwa Anda berhak mendapatkan kasih, kesenangan dan kebahagian agar diri tidak rusak dan risak secara lahiriah dan batiniah. Itu semua harus diperjuangkan bukan dengan nafsu dan syahwat, tapi demi pertimbangan ibadah yang dilakukan secara proporsional dan adil menimbang Anda sudah bukan lagi lajang. Ada skala prioritas mana yang harus anda perjuangkan agar kapasitas yang satu ini tidak terabaikan.
Untuk itulah, bukan tidak logis bila kemudian Sang Rahman dan Baginda Nabi menganggap orangtua --wabil khusus ibu selaiknya keramat ilahi di muka bumi. Menaati orangtua, menaati ilahi. Mendurhakai ibu, mendurhakai ilahi. Tentu saja, tidak setiap ibu bisa mendapatkan kehormatan seperti diterakan Allah dalam firman-firman-Nya yang mungkin Anda sudah baca di buku-buku agama; tidak setiap ibu bisa merengkuh predikat super mulia sebagaimana disinggung Nabi dalam hadis-hadisnya yang mungkin Anda sering dengar melalui ceramah-ceramah agama di berbagai media. Bahwa hanya ia yang bisa memerankan dengan baik amanah istri dan ibulah yang layak mendapatkan status terhormat tersebut. Lebih-lebih, di dunia kiwari seperti sekarang ini dimana sebagian perempuan yang sudah menjadi ibu kerapkali alpa memenuhi peran dan tanggung jawabnya. Bukankah banyak diantara ibu, misalnya, demi menjadi eksis di media sosial acapkali menjadikan gawainya sebagai anak, bahkan menjadikan gawainya sebagai suami. Bukan, semoga itu bukan Anda. Wallahu a’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA