ADA sebagian orang memahami bahwa perempuan merupakan warga kelas dua di bawah laki-laki karena alasan agama dan kapasitas intelektual. Mengapa? Argumentasi yang melandasi anggapan tersebut biasanya merujuk pada tiga dalil ini.
Pertama, surah Al-Baqarah ayat 228:
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kedua, surah An-Nisaa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّۭا كَبِيرًۭا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ketiga, hadits Rasul:
- حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال : خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في أضحى أو فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال ( يا معشر النساء تصدقن فإني أريتكن أكثر أهل النار ) . فقلن وبم يا رسول الله ؟ قال ( تكثرن اللعن وتكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن ) . قلن وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله ؟ قال ( أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل ) . قلن بلى قال ( فذلك من نقصان عقلها أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم ) . قلن بلى قال ( فذلك من نقصان دينها )
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian." Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata: "Itulah kekurangan agamanya." (HR. Bukhari: 293, Muslim:114, Ahmad:5091,8507, Ibnu Majah:3993)
Tiga nash tersebut seringkali dipakai sebagai dasar argumen untuk menjustifikasi superioritas kaum adam atas kaum hawa. Secara literal dan selintas, nampak argumentasi tersebut mendapatkan justifikasi dari tiga dalil tadi. Namun jika diperhatikan dari konteks internal dan eksternal secara komprehensif, dapat dipahami bahwa keunggulan derajat kaum laki-laki atas perempuan dalam konteks dua ayat di atas karena ada beban dan tanggung jawab sosial-ekonomi yang harus ditunaikan sebagai qawwam (penanggung jawab keluarga). Berimbang dengan kemuliaan perempuan yang harus menunaikan tugas-tugas reproduksi berupa kehamilan, melahirkan, dan menyusui (Hamim Ilyas, 2005).
Adapun tentang hadits yang membicarakan kualitas agama dan akal perempuan, dalil tersebut tidak dimaksud untuk mencela dan merendahkan derajat kaum perempuan. Karena sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani ketika mensyarah hadits tersebut, kondisi wanita haidh merupakan sifat dasar fisiologis perempuan sebagai ketentuan dari Allah swt (taqdir) yang tidak bisa ditawar. Lagi pula tidak shalatnya perempuan pada saat haidh adalah bentuk ketaatan pada syariat Allah yang melarang wanita haidh beribadah seperti shalat dan puasa.
Demikian juga halnya mengenai persaksian perempuan harus dipahami dalam konteks pada saat itu di mana akses perempuan yang masih minim pada sumber informasi dan edukasi serta perannya di ruang publik, hingga perlu konfirmasi pada satu saksi lain. Oleh karena itu dalam komentarnya, Ibnu Hajar mengatakan bahwa hal itu bukanlah celaan atau aib bagi perempuan, tetapi peringatan akan cobaan yang biasanya dialami kaum perempuan. (Fathul Bari I:406). Untuk menanggulangi hal itu, maka Rasulullah saw menganjurkan kaum perempuan untuk banyak bersedekah agar terhindar dari akibat buruk dari fitnah (cobaan) yang biasa menimpa mereka.
Yang harus diperhatikan, peringatan Rasulullah tersebut disampaikan pada perempuan yang berada di pinggir jalan yang bisa jadi sedang ngerumpi atau menggoda para pengguna jalan yang lewat. Pantaslah peringatan tersebut disampaikan pada mereka yang sangat mungkin melakukan tindakan yang keliru dalam hadits tersebut. Akan berbeda halnya jika Rasulullah bertemu dengan para perempuan yang mampu menjaga harga diri dan martabat mereka.
Di sisi lain, Islam menegaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Sikap yang jelas bisa dilihat dalam beberapa ayat, misalnya persamaan sebagai anak cucu Adam yang dimuliakan oleh Allah swt (al-Isra, 17:70), sama-sama sebagai hamba yang diperintah untuk beribadah kepada Allah swt (al-Dzariyat, 51;56), bahkan sama-sama diciptakan untuk menjalani fungsi kekhalifahan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah,2:30).
Dengan kedudukan yang setara tersebut, Allah menjamin kehidupan yang layak dan balasan yang terbaik bagi laki-laki maupun perempuan yang beriman dan berbuat kebajikan (al-Nahl, 16:97), dengan demikian perbedaan derajat di antara keduanya hanya dapat ditentukan dengan kualitas dan kesungguhan takwa yang dimiliki masing-masing (al-Hujurat, 49:13), serta prestasi yang diraih sebagai hasil dari amal masing-masing (al-An’am, 6:165).
Oleh karena itu, amar ma’ruf nahi munkar serta saling mengingatkan dan memotivasi dalam kebenaran dan kesabaran sebagai tugas moral-sosial bukan menjadi kualifikasi eksklusif kaum laki-laki atas perempuan, melainkan tugas bersama yang harus dilakukan dengan semangat kerjasama dan kesadaran akan kesetaraan di hadapan Allah swt.
Al-Quran dan Hadis banyak menyebut para perempuan yang menorehkan prestasi dan berperan besar dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti Ratu Balqis sebagai pemimpin (ratu) yang membawa rakyatnya dalam kemakmuran, Maryam sosok utama yang mendedikasikan diri sebagai hamba Allah yang salehah, Khadijah seorang saudagar dan pendamping sekaligus pendukung dakwah Rasulullah Saw., juga Aisyah perempuan yang cerdas dan kritis. Masih banyak sosok perempuan lain yang berprestasi di masa Nabi Saw. masih hidup atau para perempuan dari generasi salafus shalih.
Dengan demikian, dalam perspektif Qur’an dan sunnah terkait pemahaman konstektual, semangat, dan jiwa Ilahiyah yang liberatif, Islam mengajak perempuan dan laki-laki dapat sungguh-sungguh meraih kesejatian sebagai hamba Allah sekaligus melakukan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
KOMENTAR ANDA