KOMENTAR

ANAK mengambil nilai keberanian dari ayahnya dan nilai kelembutan dari ibunya. Lantas bagaimana rahasia sosok Rasulullah Saw. yang dengan piawai berperan sebagai ayah sekaligus ibu dalam mendidik anak-anaknya setelah Khadijah wafat? Dan bagaimana bisa Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa menjadi ayah merupakan perjuangan penuh cinta?

Bisikan Maut

Bicara tentang profil seorang perempuan akan sangat berhubungan dengan siapa sosok ayahnya. Dan untuk memahami sosok seorang ayah juga dapat diketahui dari profil anaknya. Seorang ayah berhasil mendidik anak perempuan terlihat ketika anaknya berkata, “My father, my first love.”

Dari mana bukti keberhasilan Rasulullah merebut cinta sejati putrinya? Mari kita simak episode sakaratul maut beliau yang membuat orang heran mengapa Fatimah menangis pada bisikan pertama dari ayahnya, dan tertawa bahagia pada bisikan kedua. Peristiwa ini sempat menjadi rahasia cukup lama karena saat ditanya, putri Rasulullah Saw. itu menunda jawaban.

Pada bukunya yang indah berjudul Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw., Quraish Shihab menuliskan bahwa ketika sakaratul maut, Rasulullah berbisik kepada putrinya, “Ajalku telah dekat, maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Mendengar itu, Fatimah menangis. Rasulullah saw. memberikan bisikan kedua, “Dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang menyusulku.” Maka Fatimah pun tertawa.

Jelas sekali yang diberikan sang ayah adalah bisikan maut, bahkan dua kali. Namun Fatimah menerimanya dengan tawa bahagia. Begitu besar cinta yang ditanamkan sang ayah, bahkan kematian pun tidak membuatnya gusar. Bagi Fatimah, sang ayah adalah cinta pertama yang tiada tara harganya, bahkan kematian dirinya pun menjadi kabar gembira.

Anak lekas paham apabila didekati dengan bahasa cinta, sedangkan anak perempuan paling dahaga dengan cinta. Dan jika tidak menemukan cinta pada ayahnya, ia akan lari kepada sosok yang lain. Kelak, ketika anak perempuan itu menikah, ia akan menilai standar suami idaman itu seperti sosok ayah tercinta. Namun jangan pernah sekalipun mengkhianati cinta anak perempuan, karena ia bisa tak pernah percaya lagi dengan cinta manapun, bahkan kehidupannya menjadi hancur. Artinya, hanya cinta yang membuat pintu hati anak terbuka lebar lalu berpegang teguh dengan pendidikan ayahnya.

Hiduplah di Jiwanya

Rasulullah saw. tidak lama mendidik anak laki-laki karena mereka sudah wafat semasa masih kecil. Justru dalam hal ini terdapat rahasia besar karena dalam tradisi Arab Jahiliyah, anak perempuan tidak ada harganya, bahkan sebagian mereka tega menguburkan hidup-hidup anak perempuannya. Sedangkan Rasulullah mengasuh anak-anak perempuan sepenuh cinta. Orang-orang Jahiliyah mencibir tatkala melihat Nabi Muhammad mencium putrinya di depan umum. Katanya, “Aku punya sepuluh anak perempuan, tak satu pun yang kucium.” Beliau berkata, “Rasa cinta telah dicabut dari hatimu!”

Apakah mendidik dengan cinta membuat anak berjiwa lemah? Tentu saja tidak, malahan anak-anak yang dididik sepenuh cinta oleh ayahnya akan lebih percaya diri menjalani kehidupan. Pendidikan cinta yang membuat sang ayah senantiasa hidup di jiwa anaknya.

Nabi Muhammad dan anak-anaknya berada di lingkungan Jahiliyah yang bukan saja disesaki manusia keras tapi juga berwatak biadab. Saat Rasulullah sujud dan tak bisa bangkit disebabkan tahi unta bertumpuk di kuduknya, orang-orang kafir Quraisy malah tertawa melihat ulah mereka. Namun para begundal itu ciut nyali saat Fatimah datang membersihkan kuduk ayahnya dan balas murka kepada mereka. Tidak ada yang bisa mengalahkan orang yang punya keyakinan.

Membangun Visi

Lalu apa yang dapat diberikan kepada anak oleh seorang ayah yang baik? Didiklah anak-anak melampaui tantangan zamannya, karena mereka akan hidup di zaman yang jauh berbeda dengan kita. Kalau mendidik anak seperti orangtua semasa kecil dulu, maka jadilah mereka generasi jadul atau ketinggalan zaman dan hidup dalam romantika yang usang. Mereka akan terus tertinggal dan akhirnya jungkir balik dipermainkan roda kehidupan. Kalau anak dididik seperti zaman now, maka anak hanya siap untuk berpesta saat sekarang ini saja dan akan gagap tatkala menapakkan kaki di masa mendatang.

Didiklah anak dengan memahami tiga rangkaian masa; masa lalu, zaman now dan era mendatang. Tiga fase itu hendaklah dicerna dengan baik oleh anak agar hidup mereka indah. Sebagaimana yang disiapkan oleh Rasulullah yang bukan saja mengajarkan masa depan di dunia, tapi juga masa depan di akhirat, sehingga putrinya benar-benar siap lahir batin.

Oleh sebab itulah, keluarga hendaknya memiliki dan memahami visi rumah tangga, agar semuanya searah, selangkah, dan seirama. Tidak ada kejadian satu ke kiri yang lain ke kanan. Ayah hendaknya punya visi, yang mana visi itu sudah dibangun sejak sebelum menikah. Visi pernikahan itu dimiliki agar rumah tangga tak kehilangan arah. Termasuk dalam visi itu bagaimana tata cara mendidik anak-anaknya yang tangguh melintasi segala macam zaman.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur