KOMENTAR

ITIKAF dalam beberapa literatur ilmu fiqih memiliki kaifiyat [tata cara] sendiri. Sebagai sarana ibadah, selain bulan Ramadhan, iktikaf juga sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Untuk itu, agar ibadah ini menjadi kebiasaan di dalam hidup kita sehar-hari, berikut sekelumit panduannya:

Hukum Iktikaf

Iktikaf menjadi wajib hukumnya bila seseorang bernazar [bersumpah] hendak melakukanya. Ia beralih menjadi sunnah selama 10 akhir Ramadhan karena Rasulullah saw. memang menganjurkannya. Dan menjadi mandub [dianjurkan] bila iktikaf ini dilakukan di luar dua kategori di atas. Demikianlah yang disepakati para ulama.

Waktu Iktikaf

Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa iktikaf itu minimal dilakukan sebentar saja. Ketika seseorang lewat di dalam masjid, lalu ia niat iktikaf --atau ia masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat fardhu atau sunnah kemudian niat iktikaf bersama shalat-- maka dalam jangka waktu yang relatif singkat tersebut ia sudah disebut mendapatkan pahala beriktikaf. Menurut tiga ulama mazhab ini, tidak ada batas maksimal untuk beriktikaf. Dalam pada itu, menurut Imam Malik, batas iktikaf itu minimal sehari semalam dan maksimal selama sebulan.

Rukun Iktikaf

Rukun iktikaf hanya ada dua: pertama, berdiam diri di masjid walaupun hanya sebentar  dan kedua,  niat.

Syarat Iktikaf

Orang beriktikaf harus Islam dan mumayyiz [sudah bisa membedakan antara yang baik dan buruk]. Maka tidak sah beriktikaf bagi mereka yang kafir dan anak kecil yang belum mumayyiz.

Suci dari hadas besar, seperti junub, haid dan nifas. Bila seseorang mengalami salah satu di antara hadas besar itu, maka iktikafnya batal. Ia wajib keluar dari masjid. Kalau tidak, hukumnya pun berubah menjadi haram.

Ketika sedang melakukan iktikaf wajib, seseorang tidak boleh melakukan hubungan badan dengan istrinya, walaupun itu dilakukan di luar masjid. Jika hal itu dilakukan, maka batal iktikafnya.

Imam Malik membolehkan iktikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjamaah atau shalat Jumat saja. Alasannya, agar orang yang beriktikaf bisa selalu shalat berjamaah dan tidak perlu meninggalkan tempat iktikaf menuju masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat Jumat. Pendapat ini diperkuat oleh ulama Syafi’iyah. Alasannya, Rasulullah saw. beriktikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, kita dianjurkan melakukannya di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsa.

Bagaimana Iktikaf Bagi Muslimah?

Iktikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas. Yaitu:  pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi. Kedua, tempat dan pelaksanaan iktikaf wanita sesuai dengan tujuan syari’ah.

Aktivitas Selama Iktikaf

Ketika Anda iktikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah shalat sunnah, tilawah (membaca) Quran, bertasbih, tahmid, dan tahlil, perbanyak istighfar, perbanyak shalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Meski begitu, orang yang beriktikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat iktikaf demi mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat.

Orang yang beriktikaf juga boleh keluar masjid untuk suatu keperluan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai hajat itu, segera kembalilah ke masjid.

Orang yang beriktikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau serta boleh membersihkan masjid. Iktikaf dikatakan batal jika orang yang beriktikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Wallahu’alam bilshawab. [F/Berbagai sumber]

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur