PASANGAN suami istri kini harus lebih mawas diri. Media sosial yang begitu terbuka bisa menjadi bumerang bagi keharmonisan rumah tangga. Suami dan istri harus bijak bermedia sosial agar aib keluarga tak ‘meluber’ hingga ke ranah publik.
Kalimatmu, Harimaumu
Isi unggahan media sosial bukan tak mungkin mendapat penafsiran berbeda-beda bagi yang membaca. Meskipun itu sebuah foto, status, atau caption bernada positif. Apalagi jika media sosial dijadikan wadah untuk berkeluh kesah tentang pasangan secara blak-blakan. Benarkah apa yang di-post seseorang di media sosial mencerminkan perilakunya?
Tentang hal tersebut, Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog yang akrab disapa Wita menjelaskan bahwa apa yang diunggah seseorang tidak 100% menggambarkan kepribadiannya. “Namun tetap saja, apa yang kita unggah di media sosial adalah bagian dari diri kita,” ujar Wita.
Seringkali karena kita sulit melakukannya di dunia nyata, kita mencari penyaluran melalui media sosial. Misalnya, kita sebenarnya merasa malu untuk berbicara dengan orang baru, namun ketika mengunggah video ( yang notabene hanya berhadapan dengan kamera), kita menjadi lebih luwes dan lancar berkata-kata. Di sisi lain, ketika kita merasa kesepian di dunia nyata, kita memposting hal-hal yang memang menggambarkan kondisi kita saat itu.
Menurut Psikolog Wita, intinya adalah jangan langsung percaya 100% pada apa yang kita lihat di media sosial karena belum tentu benar di kehidupan aslinya. Bisa jadi itu hanya bentuk pencapaian yang sulit direalisasikan di dunia nyata. Salah satunya terkait kehidupan pribadi atau rumah tangga. Berbeda jika yang disajikan adalah prestasi profesional, yang tentu bisa dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya.
Karena itulah, suami dan istri seperti yang dianjurkan dalam Islam, harus menutup rapat urusan ‘dapur’ rumah tangga dari mata orang lain. Aib pasangan, bagaimanapun menjadi aib kita. Sekalipun kita menganggap kalimat yang kita unggah—berupa status atau caption—adalah sebuah doa dan pengharapan yang baik, orang lain tetap dapat menginterpretasikannya berbeda.
Multi Interpretasi , Minim Solusi
Psikolog Wita mengingatkan seseorang memang harus ekstra hati-hati untuk mengunggah sesuatu ke media sosial. Misalnya saja sebuah kasus istri yang menulis sebuah doa tentang suami saleh. Siapa sangka banyak orang menafsirkan istri ini sedang mengeluh karena suaminya belum tergolong suami saleh, bahkan mengasihaninya karena menyangka si istri sedang dizalimi suaminya. “Rasanya kalau doa untuk pasangan tidak perlu kita unggah melalui media sosial. Jadikanlah itu hal pribadi di antara kita dan Allah Swt.,” kata Wita.
Lebih jauh lagi, psikolog yang juga dosen di dua universitas ini mengimbau suami atau istri untuk mengunggah hal-hal yang masih dapat diterima di ranah publik, seperti hal-hal positif atau hal-hal humoris dari pasangan—tapi bukan mempermalukan. Jika memang tidak yakin, suami atau istri bisa bertanya pada pasangannya apakah ia keberatan atau tidak bila kita menulis satu cerita di media sosial. Jangan sampai karena ingin memperoleh hujan likes di dunia maya, kita mengabaikan perasaan pasangan. Meski apa yang diunggah terkesan ringan dan santai, suami istri harus tetap saling menghormati dan mengerti kebutuhan dari pasangan masing-masing.
Berbicara tentang dampak media sosial, mengapa sebagian orang memilih media sosial sebagai tempat curhat? Menurut Psikolog Wita, karena media sosial paling mudah diakses dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada biaya yang dibebankan selain pulsa kuota. Orang bisa menuliskan perasaannya dengan cepat tanpa harus memikirkan perasaan orang lain,. Namun harus diingat, curhat di media sosial seringkali tidak memberikan solusi namun malah memperkeruh masalah.
Jika ada ketidaksetujuan atau rasa kurang sreg terhadap pasangan, kita seharusnya mengungkapkan secara langsung kepadanya. Jangan memberi kode-kode agar dapat dimengerti melalui media sosial. Jika kita takut akan marah berlebihan jika berhadapan langsung dengan pasangan, kita bisa menuliskan perasaan kita di atas sehelai kertas atau notes di hp, supaya lega dan amarah sedikit mereda. Setelah itu, barulah kita mengekspresikan perasaan kita dengan cara yang santun.
Cinta Tak Perlu Berlebihan
Lantas, jika tidak bijak mengumbar aib rumah tangga di ruang publik, bolehkah kita selalu mengumbar kemesraan baik itu melalui foto, caption, juga status media sosial? Psikolog Wita menjelaskan, “Selama itu memang kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata, tidak masalah. Tapi tetap saja semua yang berlebihan tidak baik.”
Akan berbahaya jika kemesraan itu sekadar topeng agar dinilai positif oleh keluarga, para sahabat, dan warganet secara luas. Suami istri juga harus tahu batasan untuk tidak melulu mem-posting foto dengan pasangan. Akan jauh lebih baik jika kita juga menyebarkan hal positif lain melalui hobi yang positif atau keikutsertaan kita dalam komunitas yang positif. Jangan sampai orang menjadi muak dan justru menilai isi media sosial kita terlalu dibuat-buat.
4 Kiat Bijak Media Sosial Untuk Suami Istri
KOMENTAR ANDA