KOMENTAR

                   

PILOT adalah sebuah profesi yang membanggakan. Dianggap prestise, karena seorang pilot sanggup menerbangkan pesawat berteknologi canggih, bisa berpetualang keliling dunia, dan tentu saja mendapatkan gaji dalam jumlah besar. Tak heran, banyak remaja bercita-cita menjadi pilot. Namun karena tanggung jawab yang besar, syarat secara fisik dan non-fisiknya terhitung berat. Tentu saja karena pilot bertanggung jawab atas puluhan nyawa bahkan ratusan nyawa yang ia bawa terbang.

Namun, Nindya Elya Pranedya atau akrab disapa Nindya, justru menjadi pilot karena ‘ketidaksengajaan’. Nindya mengaku layaknya anak kecil, cita-citanya kerap berubah-ubah. Hari ini ingin jadi dokter, tiba-tiba besok ingin jadi insinyur. Belum pasti. Sampai suatu saat, sang Papa bercerita tentang spanduk promosi sekolah pilot yang ia lihat dalam perjalanan. “Papa langsung bertanya apa saya mau mencoba, dan saya mengiyakan,” kenang Nindya.

Perempuan menjadi pilot, tidak serta merta menimbulkan decak kagum. Ada banyak kekhawatiran dari orang-orang terdekat. Pilot adalah profesi yang high risk, harus siap di ketinggian, dan jarang pulang ke rumah. Alhamdulillah, perempuan 24 tahun ini mampu menjalani tugasnya dengan baik.

Perjuangan Mental

Selepas SMA, lajang asal Kalimantan ini kemudian mengambil sekolah pilot di Filipina selama 16 bulan. Ia kemudian dinyatakan lulus dan mengantongi lisensi pilot. Pilihan Nindya ini kemudian menginspirasi sang kakak, Tyas, untuk mengikuti jejaknya menjadi pilot.

Selama menempuh pendidikan pilot, menurut Nindya tidak ada masalah tentang hijab karena memang diperbolehkan. Tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana ia sebagai perempuan dapat menjalankan semua tugas sama baiknya dengan mayoritas siswa laki-laki, bahkan lebih baik. Nindya juga dituntut untuk pandai-pandai membawa diri dalam pergaulan dengan teman-temannya.

“Dalam dunia kerja penerbang, tidak ada perbedaan gender. Tidak lantas karena saya perempuan lalu mendapat perlakuan lemah-lembut dan diistimewakan. Semua sama. Jika saya melakukan kesalahan, hukumannya sama.”

Kesamaan itu tak lain karena tanggung jawab yang dibebankan memang tidak membedakan gender. Artinya, perempuan yang memang ingin menjadi penerbang harus siap mental untuk menjadi pemimpin saat terbang. Di sinilah mental perempuan harus kuat.

Tak terasa, sudah dua setengah tahun Nindya mengarungi angkasa dengan pesawat. Saat ini, negara Cina adalah tujuan terjauh yang pernah ia jalani. Sebisa mungkin, ia menikmati setiap detik petualangannya ke berbagai daerah dan negara.

Ketika si burung besi telah mendarat, Nindya memaksimalkan waktu istirahatnya untuk berwisata. Sejenak melepaskan penat, mengurangi ketegangan. Ia memilih menikmati kuliner khas daerah setempat, jika memang tidak ada waktu untuk mengunjungi destinasi wisata. Yang terpenting, ia bisa mengenal dan ‘mencicipi’ kekhasan daerah yang dikunjunginya.

Agar bisa meraih kesuksesan di usia muda, Nindya mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diperoleh dengan instan. Semua membutuhkan perjuangan dan ketelatenan. Yang terpenting, tidak boleh takut gagal dan harus tetap berusaha dalam keadaan sesulit apapun. “Usia dan gender bukanlah penghalang untuk meraih cita-cita,” pungkas Nindya.

 




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women