TEKAD Titiek Puspa memajukan seni budaya bangsa terbukti tak pernah tergerus waktu. Kanker sekalipun, tak sanggup mematikan kreativitasnya. Baginya, bernyanyi adalah bentuk komunikasinya dengan Tuhan. Kepada Farah, Eyang Titiek membagikan ceritanya.
Siapa tak kenal Titiek Puspa. Ia melakoni seni peran, mencipta lagu, sekaligus menuai kesuksesan sebagai penyanyi. Ratusan judul lagu telah ia tulis dan melekat di hati masyarakat. Sebut saja Kupu Kupu Malam, Bing, Bimbi, Apanya Dong, Jatuh Cinta, Gang Kelinci, dan masih banyak lagi. Banyak di antara lagu karyanya yang entah sudah beberapa kali dipopulerkan kembali oleh para penyanyi papan atas Indonesia masa kini.
Banyaknya musisi tanah air yang mendaur ulang karya Eyang Titiek—begitu ia biasa disapa—membuktikan bahwa kreativitas seorang Titiek Puspa mampu bertahan lintas generasi. Tak ayal bila masyarakat, media, maupun para musisi menyebutnya seorang Legenda Hidup. Seorang maestro yang tak pernah berpikir untuk berhenti berkarya. Semua itu ia lakukan dari hati karena kepedulian dan kecintaannya terhadap dunia seni budaya tanah air.
Di usianya yang ke-80, semangat berkarya peraih anugerah Lifetime Achievement Award pada Malam Budaya Manusia Bintang RMOL tahun 2017 ini tidak berkurang sedikitpun. Beberapa tahun lalu, kanker mencoba menghadang langkahnya. Dengan kombinasi meditasi dan ilmu medis, Titiek Puspa menjadi penyintas kanker yang kembali berdiri tegak. Pun operasi pacu jantung yang belum lama ia jalani, tidak membuatnya berhenti berkreasi. Padahal operasi adalah satu hal yang sangat ia takuti. Alhamdulillah, meski belum sepenuhnya pulih, perempuan humoris ini sudah merasa jauh lebih baik. Ia sudah mampu kembali menulis, bahkan menerima tawaran manggung di luar kota. Baginya, tidak ada waktu berleha-leha selama Allah Swt. melimpahkan kesehatan.
Titiek Puspa menjaga betul wasiat almarhum ayahnya untuk selalu mengurus dan mempersatukan keluarga. Karena itu di waktu senggang, ia selalu menyempatkan diri bermain dan bercengkerama dengan para cucu dan cicitnya. Sebagai anak keempat dari 12 bersaudara, tak heran bila jumlah keluarga besar kini lebih dari 100 orang.
Cinta Anak Indonesia
Tiga tahun belakangan, Titiek Puspa serius menggarap grup vokal Duta Cinta. Duta Cinta adalah 10 anak Indonesia yang lolos seleksi ketat untuk menyanyikan lagu-lagu karangan Titiek Puspa yang bernapaskan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia, nilai moral kemanusiaan, juga keceriaan masa kanak-kanak. Duta Cinta lahir dari keprihatinannya terhadap lagu anak yang kian ‘tenggelam’.
F: Mengapa Duta Cinta?
TP: Anak-anak sekarang lebih banyak menyanyikan lagu orang dewasa lewat gadget. Saya menciptkan lagu-lagu bersifat nasionalis, seperti Aku Bangga Jadi Anak Indonesia, Cintailah Cinta, juga Kau Dan Aku Indonesia. Tak hanya dibekali keterampilan sebagai entertainer, anak-anak Duta Cinta juga dibekali pendidikan moral. Setiap Sabtu dan Minggu kita kumpul bersama untuk belajar. Saya menyediakan guru vokal, guru menari, dan guru akting. Saya sendiri mengajarkan mereka pentingnya nasionalisme dan budi pekerti.
F: Apakah masyarakat luas sudah dapat menikmati lagu-lagu Duta Cinta?
TP: Lagu-lagu Duta Cinta yang bernada ceria dapat dinikmati dalam bentuk CD berjudul Duta Cinta & Titiek Puspa. Di album ini, ada enam lagu baru dan empat lagu lama. Duta Cinta adalah persembahan saya untuk anak-anak Indonesia. Grup vokal ini lahir dari kekaguman saya terhadap anak-anak di setiap zaman mereka.
Berjuang Meniti Kesuksesan
Kondisi tubuh yang sakit-sakitan saat masih kecil membuat Titiek puspa sempat ‘menggugat’ Sang Pencipta. Namun ternyata Sang Khalik memberinya kesembuhan dan kesehatan. Rasa syukur yang teramat besar kemudian membawanya pada satu titik: menyanyi sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan.
Titiek Puspa melihat sang ibu kewalahan meladeni 12 anaknya. Tak heran, cita-citanya sejak kecil bukan menjadi seniman melainkan guru TK. Melihat Ibu menangis sambil berselonjor di lantai, Titiek Puspa berdoa. Mohon kepada Tuhan jika nanti menikah dan punya anak, ia mohon diberi dua anak saja. Ia pun dianugerahi Petty Tunjung Sari dan Ella Puspa Sari. Harusnya ia punya tiga anak, tetapi calon bayi keluar sendiri tanpa terasa sakit saat usia kandungan satu atau dua bulan.
Jalan hidupnya memang di dunia seni. Setelah Festival Bintang Radio Daerah di Semarang, dilanjutkan dengan Festival Bintang Radio Nasional di Jakarta. Meski kurang berhasil, ia diundang mengisi Malam Gembira Festival yang seharusnya hanya diisi para juara. Setelah itu, karirnya terus menanjak. Presiden Soekarno terpesona dengan suaranya dan menjadikannya penyanyi istana. Dan sebagai seniman, Titiek Puspa tergolong super produktif dalam mencipta lagu.
F: Bagaimana awal masa meniti karier di Jakarta?
TP: Saya ke Jakarta tahun 1959 berbekal petunjuk Tuhan. Uang saat itu hanya cukup untuk naik kereta. Di Jakarta, menumpang di rumah tante. Tapi bukan berarti saya enak-enakan. Saya mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, dan memasak. Saya lakukan di sela kesibukan menyanyi di RRI (Radio Republik Indonesia). Meskipun harus tidur beralas tikar di semen, saya tak pernah patah arang. Termasuk menjahit baju sendiri, karena sejak SD saya sudah bisa menjahit, mencontoh Ibu. Semua adalah pembelajaran hidup. Di tahun 1964, saya mengontrak rumah karena sudah punya penghasilan yang lebih baik.
F: Benarkah menyanyi sudah menjadi passion sejak kecil?
TP: Saya memang senang menyanyi sejak kecil dan selalu mempersembahkan nyanyian saya untuk Tuhan. Naik ke atas pohon dan mulai menyanyikan tembang Jawa Cublak Cublak Suweng, Padhang Bulan, Lir Ilir dan sebagainya. Menyanyi merupakan bentuk komunikasi saya dengan Tuhan.
F: Lalu seperti apa suka duka berkecimpung di dunia seni?
TP: Selama 64 tahun menjadi seniman, tidak bisa disebutkan satu persatu suka-duka yang dialami. Bagi saya, semua terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dan kuncinya hanya satu: ikhlas. Semua yang kita miliki suatu saat akan diambil kembali oleh Yang Kuasa dengan berbagai cara, entah lewat berbagi dengan sesama, musibah kebakaran, atau kehilangan. Kadang bagi sebagian besar orang, ikhlas itu mudah diucapkan namun sangat sulit diaplikasikan. Saya selalu memohon pada Tuhan. Saya takut Tuhan. Saya tidak berani sendiri tanpa bimbinganNya.
KOMENTAR ANDA