UJIAN itu pada hakikatnya adalah maksud baik Allah untuk kita, hamba-hambaNya. Kunci menjalaninya adalah kesabaran, demi mendapatkan hadiah istimewa yang dijanjikan pada akhirnya. Tapi sayang, banyak dari kita yang menyerah untuk menyelesaikan ujian itu….
Laa ilaaha illa anta subhaanaka inni kuntu minadz dzalimin….lafaz zikir tidak pernah absen terucap sejak tahun 2005 hingga kini. Kalimat maha sakti penguat jiwa raga yang menjadikan Dewi Nurcahyani kuat berjuang melawan kanker rahim selama tujuh tahun. Kanker yang membuat dokter memvonisnya tak bisa hidup hingga usia 30 tahun.
Kalimat zikir lainnya yang ditutup dengan istighfar juga menjadi bagian dari kehidupan Dewi. Menjadi doa yang kapan dan di manapun selalu terucap. Ia berdoa dengan bahasanya sendiri, memohon dengan segenap hati. Misalnya saja, setiap apa yang masuk ke mulut, ia berdoa agar itu menjadi obat. Dan apa yang keluar dari tubuh, adalah penyakit yang menjauh darinya. Kebiasaan berdoa ini terbawa sampai sekarang.
Doa memang menjadi hal paling utama dalam proses melawan kanker yang dijalani fotografer berprestasi ini. Ia yakin keampuhan doa dalam menaklukkan penyakit jauh melebihi ampuhnya obat. “Karena itu aku selalu meminta doa kepada siapapun,” ujar Dewi.
Hidup tanpa rahim atau meninggal membawa rahim. Vonis dokter itu seolah menutup pintu untuk sembuh. Seakan siap menghancurkannya, apapun pilihan yang ia ambil. Dewi pun menolak untuk menutup pintu itu. Ia teguh untuk berusaha sembuh. Ia kukuh untuk tidak mengorbankan rahimnya.
Surat vonis kanker diterimanya pertama kali dari Dokter Dario Turk. Kanker yang gejalanya ternyata sudah terasa sejak remaja. Rasa sakit yang tak tertahankan saat datang bulan, bahkan kerap membuat Dewi tak bisa bangun dari tempat tidur. Namun dulu ia berpendapat bahwa rasa sakit itu adalah sebuah kewajaran. Siapa mengira, setelah ia mencari second opinion pun, jawaban dokter lain tetap sama: kanker rahim.
Dan di tahun 2007, dua tahun setelah menerima vonis dokter, Dewi tak bisa membendung airmatanya. Ia menangis sejadi-jadinya saat merayakan ulang tahun ke 31 bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya di kantor media tempat ia bekerja. Ulang tahun yang menurut dokter tak akan bisa ia lewati. Momen itu membuatnya semakin kuat sekaligus pasrah. Ia teramat bersyukur dapat hidup hingga melewati batas waktu yang divonis dokter. Namun, ia pun menjadi pasrah kapan pun Allah memanggilnya. Ia siap menyongsong hari demi hari dalam tajuk perjuangan.
Mengikuti Kata Hati
Mengupayakan diri untuk sembuh tidak membuat istri jurnalis senior Luhur Hertanto ini ‘gelap mata’. Ia memiliki prinsip bahwa jika kita sakit, kita punya banyak pilihan untuk sembuh. Tinggal kita berani atau tidak untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk diri kita.
Dan Dewi mengikuti kata hatinya dalam mencari jalan untuk sembuh. Ia pernah meninggalkan obat-obatan kimia. Beralih total ke obat herbal. Namun ternyata kanker terlalu tangguh jika digempur dengan herbal semata. Lalu ia pun ‘berdamai’; kembali mengkonsumsi obat kimia namun disertai herbal. Dewi juga sempat memutuskan menjadi vegetarian, lagi-lagi mengikuti kata hatinya. Dan ia selalu yakin bahwa apapun yang ia lakukan selama kurun tujuh tahun mempunyai andil terhadap kesembuhannya.
Ia menolak menemui dokter-dokter yang menyuruhnya menjalani kemoterapi. Karena risiko kemoterapi adalah kehilangan rahim. Dan ia tak ingin ini terjadi. Demikian juga dengan operasi. Tak pernah terlintas untuk menjalaninya.
Berjuang dan Berjuang
Medio 2010, dua minggu sudah Dewi menjalani rawat inap di pengobatan Haji Sumarni di Ciledug. Menjalani terapi dalam bentuk doa dan mengkonsumsi makanan tanpa garam, tanpa rasa. Sebelum dirawat, Dewi memang sudah bolak-balik ke sana. Dua minggu berlalu tanpa ada kemajuan. Sebaliknya, wajahnya menjadi kian pucat, dan itu membuat keluarga dan para sahabat yang menjenguk tak kuasa menahan tangis. Seolah ia tak punya harapan lagi. Dewi pamit pulang karena Haji Sumarni sudah menyerah.
Apakah Dewi juga menyerah?
Kata “menyerah” tidak ada kamus hidupnya. Dewi yakin tidak ada satu pun perjuangannya yang sia-sia. Semua proses pasti ada maknanya. Bahwa Allah pasti memiliki rencana dengan menempatkannya dua minggu di tempat Haji Sumarni. “Semua itu adalah rangkaian episode menuju sembuh,” demikian ia menyemangati dirinya.
Hingga kemudian ia harus dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RS Mary, Cileungsi oleh rekan-rekan kerja sekaligus sahabat-sahabat terbaiknya di PT Variapop Grup. Tubuhnya drop. Bisa dibilang, itulah kondisi tubuh terendahnya selama berjuang melawan kanker. Ia harus menjalani transfusi enam kantung darah. Meski begitu, semangatnya tak pernah menurun.
Dewi menegaskan bahwa ia memiliki tiga prinsip “I” dalam hidupnya, yaitu ikhlas, introspeksi, dan ikhtiar. Di kala sakit, ia berusaha untuk ikhlas. Keikhlasan memudahkan hatinya untuk menerima, melapangkan dadanya untuk selalu bersyukur, dan meringankan langkahnya untuk mencari pengobatan. Setelah itu, ia berinstrospeksi diri, apakah ini adalah ujian dari Allah atau semata akibat dari kesalahannya sendiri. Barulah kemudian ia berikhtiar sekuat tenaga menemukan pengobatan terbaik.
Hingga di tahun 2011, ia dipertemukan oleh dokter Bayu Murti di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Dokter spesialis tumor dan kanker yang terkenal nyentrik. Mulai dari ruang praktik yang berantakan mirip gudang hingga sosoknya sebagai perokok yang jarang mandi. Setelah tahu bahwa Dewi belum pernah menjalani kemoterapi, sang dokter pun memulai terapinya melalui suntikan. Selama satu tahun berobat, sudah lebih dari 150 penyuntikan ia jalani. “Dialah satu-satunya dokter yang tidak pernah menakuti-nakuti bahkan menyuruhku melakukan apa yang aku suka. Apapun itu,” ujar Dewi mengenang sang dokter nyentrik yang telah wafat Januari 2018.
Tapi seperti hari-hari selama tujuh tahun itu, perjuangannya melawan kanker tidak meminggirkan Dewi dari kehidupan sosial dan kehidupan profesionalnya. Ia bahkan mengikuti lomba Kartini Offroad di daerah Sentul, olahraga ekstrem yang memang telah menjadi hobinya, dan menang!
KOMENTAR ANDA