KOMENTAR

PARA ibu dibuat terhenyak dengan pemberitaan bahwa MSG aman dikonsumsi. Terlebih, informasi tersebut disampaikan oleh seorang dokter. Kontroversi pun tak bisa dibendung.

Sebagai konsumen, kita harus bijak memfilter setiap rumor yang beredar di masyarakat. Terlebih dalam urusan kesehatan, informasi harus berdasarkan data dan fakta yang menunjang serta serial penelitian klinis yang dilakukan pihak-pihak yang berkompeten. Perdebatan panjang mengenai bahaya monosodium glutamat (MSG) terus bergulir di masyarakat bak ujung yang tak bertepi. Benarkah bahan yang terkandung dalam penyedap rasa ini aman dikonsumsi, terutama untuk anak-anak?

Asal Mula MSG

Pada tahun 1908, Profesor Kikunae Ikeda menemukan bahwa glutamat menghasilkan rasa umami atau di Indonesia dikenal dengan rasa gurih atau lezat. Saat itu glutamat diperoleh dari ekstraksi rumput laut jenis kombu. Profesor Ikeda menamai produk tersebut monosodium glutamat dan mengajukan paten untuk membuat MSG. Suzuki bersaudara memulai produksi MSG komersial pada tahun 1909 sebagai AJI-NO-MOTO®. Mononatrium glutamat atau Monosodium glutamat (MSG) merupakan garam natrium dari asam glutamat, salah satu asam amino non-esensial paling berlimpah yang terbentuk secara alami. Asam glutamat ditemukan secara alami dalam tomat, anggur, keju, jamur dan makanan lainnya.

MSG yang beredar di Indonesia kemasan penyedap rasa, terbuat dari tetes tebu dan singkong yang diekstraksi dan difermentasi menggunakan mikroba. Bakteri mengubah zat gula menjadi asam glutamat, kemudian asam glutamat diubah menjadi kristal. Kandungan MSG terdiri dari 78% glutamat, 12% natrium, dan 10% air. MSG merupakan salah satu bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada berbagai produk pangan yang berfungsi sebagai penguat rasa.

Spesialis Gizi Klinik dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc, Sp. GK mengatakan MSG merupakan sebuah topik yang kontroversial karena begitu banyak hoax yang menyelimutinya. Sementara dari fakta dan bukti penelitian klinis, tidak ada masalah dengan MSG. WHO juga sudah menyatakan bahwa MSG aman dikonsumsi.

MSG Alami VS MSG Ekstraksi

Dokter Wita menjelaskan bahwa MSG yang beredar di pasaran adalah produk teknologi pangan. Namun sebenarnya sebagian besar produk yang kita makan juga mengandung MSG alami yang disebut asam glutamat, seperti keju, tomat, jamur, ikan, dan daging. Itulah sebabnya orang China menambahkan jamur dan orang Italy membubuhkan keju parmesan pada masakan mereka. MSG alami atau asam glutamat membuat makanan bertambah lezat. Glutamat dalam bentuk bebas itu bentuknya monosodium glutamat (MSG), sedangkan sodium/natrium (garam) berfungsi sebagai pengikat glutamat agar bisa berdiri stabil.

Jadi secara alami MSG itu sudah ada, tapi diekstraksi (diambil komponennya) menggunakan teknologi pangan, sehingga sewaktu-waktu kita ingin menambahkannya pada hidangan apapun, kita bisa menambahkan MSG tanpa perlu menambahkan bahan makanan asalnya. Apa yang dihasilkan atau diciptakan oleh teknologi pangan jika dibandingkan dengan sumber MSG alami sama strukturnya, tidak ada masalah, dan tidak ada perbedaannya.

Sensasi Rasa

Sebagian orang menyatakan setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG ada rasa tidak nyaman yang tertinggal di tenggorokan. Menurut Dokter Wita, hal tersebut harus dibedakan secara objektif apakah benar MSG penyebabnya. Untuk menuduh MSG sebagai penyebabnya dibutuhkan serial penelitan klinis. Hal tersebut tidak bisa digeneralisasi bagi setiap orang karena bersifat sugestif.

Ada kemungkinan orang yang mengalami reaksi terhadap MSG adalah mereka yang hipersensitif. Karena ada orang yang mengaku tidak bisa makan kalau pakai MSG, tetapi kalau dia tidak tahu bahwa makanannya mengandung MSG, ternyata baik-baik saja. Ciri khas masakan atau makanan yang mengandung MSG itu memang rasanya akan lebih enak karena MSG berfungsi sebagai penguat rasa yang akan meningkatkan rasa (enhancer).

Di dalam tubuh manusia, MSG ‘diperlakukan’ sama dengan asam glutamat. MSG akan dimetabolisme layaknya metabolisme protein. Asam glutamat juga diproduksi oleh tubuh, bahkan di ASI pun ada asam glutamat. Dalam hal ini, tubuh kita membutuhkan sejumlah asam amino, baik yang esensial maupun non-esensial. Asam amino non-esensial diproduksi tubuh kita, salah satunya yaitu asam glutamate. Sedangkan tubuh manusia tidak bisa memproduksi asam amino esensial hingga harus didapat melalui makanan yang kita konsumsi.

Asam glutamat berperan penting sebagai neurotransmitter. Neurotransmitter berfungsi untuk menyampaikan sinyal-sinyal dari sel saraf ke sel target. Kemudian untuk sistem kekebalan tubuh, kita juga sangat memerlukan asam glutamat. Maka, bagaimanapun juga, MSG termasuk asam amino yang dibutuhkan manusia.

Ambang Batas Konsumsi MSG

Berapa ambang batas yang diperbolehkan untuk mengkonsumsi MSG? Asupan harian yang dapat diterima atau Acceptable Daily Intake (ADI) menurut pendapat Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) dinyatakan ADI not specified/tidak ditentukan, dan tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan jika digunakan dalam takaran yang diperlukan untuk mencapai efek yang diinginkan serta pertimbangan lain.

Batas maksimum penggunaannya tertulis CPPB atau Cara Produksi Pangan yang Baik. Regulasi penggunaan MSG di Indonesia diatur dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. 23 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa.

“Anda boleh makan seberapapun yang Anda mau”. Meskipun kata-kata tersebut rasanya kurang tepat, tetapi rata-rata memang seperti itu. Kita boleh memakai bahan tambahan MSG. Jika ada hasil penelitian yang menjelek-jelekkan MSG, itu karena penelitannya menggunakan dosis esktrem untuk setiap hari. “Berbeda jika kita menambahkan MSG secukupnya ke dalam makanan,” ujar dokter Wita.

Dampak MSG Bagi Kesehatan

Berdasarkan penelitian dan bukti klinis, MSG tidak berdampak terhadap kesehatan dan kecerdasan anak-anak. Menurut Dokter Wita, dampak negatif MSG mungkin ada di sodium/natrium/garamnya. Kita memang harus membatasi asupan garam karena bisa menyebabkan hipertensi. Faktanya, menambahkan MSG ke dalam masakan justru dapat mencegah kita menggunakan garam berlebih. Pada orang yang harus membatasi asupan garam, penambahan MSG dapat mengurangi asupan garam sebanyak 30-40%.

Sindrom kompleks MSG pada mulanya disebut Chinese Restaurant Syndrome (CRS). Namun ketika dilakukan penelitian terhadap MSG, hasilnya negatif. Artinya, orang yang mengalami CRS hanya orang yang hipersensitif. Dokter Wita menekankan bahwa hipersensitif juga bisa terjadi terhadap zat atau makanan lain. “Bisa jadi orang yang mengalami CRS karena ia alergi terhadap MSG atau glutamat yang terkandung di bahan pangan lain yang dia santap saat itu,” jelas Dokter Wita.

Menurut dokter yang juga Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, tidak perlu fobia berlebihan jika MSG digunakan secukupnya untuk menguatkan rasa. Terlebih bagi orang dengan status ekonomi rendah, untuk membuat sup kaya kaldu dan gurih, MSG adalah alternatif paling masuk akal karena harganya terjangkau. Penelitian tentang hubungan MSG dengan kegemukan juga tidak terbukti. Bukan MSG yang menyebabkan kegemukan, tetapi lebih kepada jumlah asupannya.

Bagi mereka yang terlanjur anti-MSG, bisa mendapatkan rasa gurih dengan menambahkan sayuran yang mengandung glutamat seperti jamur dan tomat, atau keju. Pada dasarnya, hampir semua makanan berprotein tinggi mengandung glutamat. Tetapi karena glutamatnya tidak diekstraksi, maka tidak terlalu menguatkan rasa masakan. Atau karena overcooked, glutamat alami menjadi rusak. Banyak hoax beredar seputar MSG, padahal belum ada penelitian klinis yang menyatakannya berbahaya. “Yang perlu diwaspadai sebenarnya adalah penggunaan gula, garam dan lemak, terutama minyak. Semua orang sepakat tentang hal ini,” pungkas Dokter Wita.

Selengkapnya baca di Majalah Farah edisi 5 / Terbitan Oktober 2018




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women