HARI mulai beranjak malam ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Jinnah International Airport, Karachi, Pakistan. Sebuah mobil sederhana dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Karachi menyambut kedatangan kami. Sesaat setelah keluar dari bandara, kemacetan panjang pun menyergap.
Malam itu gelap sekali. Di tengah keramaian kota yang macet pun tak banyak cahaya masuk ke dalam mobil yang kami tumpangi. Saya pernah mendengar, Karachi adalah kota yang mendapat julukan sebagai “City of Light” atau kota cahaya. Tapi julukan ini jelas tak tergambar ketika pertama kali saya mengunjunginya.
Dalam perjalanan dari bandara menuju hotel, saya tak berhenti bertanya, kota macam apa yang saya datangi kali ini. Pakistan terlalu populer dengan cerita tak sedap yang kerap diberitakan media, mulai dari terorisme, kemiskinan dan korupsi. Namun Pakistan juga dikenal sebagai negara muslim yang memiliki pemandangan alam yang indah. Maka kali ini saya ingin membuktikannya sendiri.
Keesokan paginya ketika matahari mulai bersinar, sedikit demi sedikit mulai terkuak keindahan dari Pakistan yang bersahaja. Ketika membuka jendela hotel JW Marriot tempat saya menginap, terdapat sebuah taman luas yang cantik. Tepat di tengah-tengahnya berdiri dengan megah bangunan tua yang rupawan, bangunan ini bernama Frere Hall, yang merupakan salah satu ikon kota Karachi.
Ketika mengitari Frere Hall, saya melihat penduduk setempat yang memakai pakaian hampir serupa. Pakaian itu berwarna putih dan terdiri dari baju dan celana yang longgar. Di kemudian hari, saya baru mengetahui, pakaian itu disebut shalwar kameez yang merupakan baju nasional Pakistan. Meskipun Pakistan adalah negara Islam, namun ternyata tidak semua perempuan muslim memakai hijab. Biasanya perempuan Pakistan hanya memakai shalwar kameez dan selendang yang dilingkarkan di leher.
SINDH, ISLAM, DAN PAKISTAN
Pakistan adalah negara Islam terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Sekitar 97 persen penduduknya memeluk agama Islam, yang mayoritas adalah Islam sunni. Islam masuk ke Pakistan sekitar tahun 705-715 Masehi. Pada saat itu Amir Irak Hajjaj bin Yusuf atas arahan dari Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Daulat Bani Umayyah, mengutus seorang panglima perang yang masih berusia 17 tahun bernama Muhammad bin Qasim. Sang Panglima mendapat tugas untuk menundukkan penguasa-penguasa lalim di India dan sekitarnya.
Pada saat itu, daerah Sindh diperintah oleh keluarga dari kasta Brahma. Rakyat merasa mendapat tekanan dari penguasa dari segi sosial dan ekonomi. Karena itulah mereka memohon bantuan dari pemerintah Islam di Damaskus.
Sang Panglima perang kemudian berangkat dengan membawa pasukan yang terdiri dari 5000–6000 orang. Wilayah pertama yang ditundukkan adalah kekuasaan Maharaja Dahar, seorang raja yang sangat terkenal di dekat perbatasan India dengan daerah Arab. Raja Dahar kemudian mati terbunuh dan daerah kekuasaannya menjadi bagian wilayah Islam. Muhammad bin Qasim pun ditunjuk menjadi Amir yang berkuasa penuh di negeri bernama Sindh tersebut.
Di bawah pemerintahan Muhammad bin Qasim, rakyat mendapatkan hak-hak mereka dengan baik dari segi agama, sosial, dan ekonomi. Sang pemimpin memperlakukan umat agama Hindu dengan baik, antara lain dengan mengangkat menteri-menteri dan pengawas polisi dari kalangan mereka. Namun Muhammad bin Qasim memerintah negeri Sindh hanya dalam waktu singkat. Tak lama kemudian, Muhammad bin Qasim dipanggil oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik untuk kembali ke Damaskus, sedangkan pemimpin negeri Sindh digantikan orang lain.
Sejak keberangkatan Muhammad bin Qasim ke Damaskus, banyak bangsawan Hindu yang memberontak pada kekuasaan Khalifah. Ketika masa dinasti Abasiyyah, Khalifah pertama mengirimkan pasukan ke Sindh untuk mengganti gubernur dari masa dinasti Umayyah. Kemudian Khalifah yang kedua yaitu Al Mansur mengirimkan ekspedisi lagi, sekaligus mendirikan kota bernama Mansurah sebagai markas militer.
Pada masa Khalifah Al Makmum dari dinasti Abasiyyah (813-833), banyak keluarga Arab yang berpindah ke Sindh yang kemudian menjadi provinsi dan diperintah oleh pangeran-pangeran kecil. Selanjutnya daerah Sindh dipimpin oleh pemerintah Islam dari berbagai dinasti silih berganti, hingga banyak orang asli Sindh yang masuk Islam.
Sedangkan berdirinya Republik Islam Pakistan adalah ide dari Muhammad Iqbal. Awalnya Pakistan merupakan bagian dari India, kemudian Muhammad Iqbal berpendapat perlu didirikan negara baru yang terpisah dari India dan berlandaskan Islam, mengingat negara India adalah percampuran antara penduduk Hindu dan Islam.
Nama Pakistan memiliki arti tanah yang murni dalam bahasa Urdu dan Persia. Jika Muhammad Iqbal adalah pencetus didirikannya Negara Islam Pakistan, maka Muhammad Ali Jinnah adalah orang yang akhirnya membuatnya menjadi kenyataan. Melalui organisasi Liga Muslimin yang berdiri pada tahun 1906, Muhammad Ali Jinnah mengantarkan kemerdekaan Pakistan pada 15 Agustus 1947. Pakistan kemudian menjadi negara merdeka dengan bentuk Republik Islam dengan Jinnah sebagai Gubernur Jenderalnya.
Pada tahun 1971, terjadi perpecahan lagi antara Pakistan Timur dan Pakistan Barat yang berakhir dengan pemisahan kekuasaan. Pakistan Timur menjadi negara merdeka dengan nama Bangladesh dengan bentuk Negara Republik Bangladesh yang diproklamirkan pada 17 April 1971. Namun baru pada tahun 1974, Pakistan mengakui kemerdekaan Bangladesh melalui penandatanganan perjanjian antara Pakistan dan Bangladesh.
WISATA ISLAM DI PAKISTAN
Saat ini masih sedikit orang yang berwisata ke Pakistan karena alasan keamanan. Selain itu, mengurus visa ke Pakistan juga tidak mudah. Jika Anda berencana untuk pergi ke Pakistan, setidaknya sediakan waktu selama tiga bulan untuk mengurus visa, karena visa bisa diterbitkan tiga bulan sejak pertama kali kita mengajukan permohonan pembuatan visa.
Namun bagi orang yang senang melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, Pakistan akan memberikan pengalaman yang berbeda. Bagi umat muslim, tidak perlu repot mencari makanan halal karena hampir semua makanan di Pakistan halal, karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain itu akomodasi di Pakistan pun cukup murah di kantong rata-rata orang Indonesia.
Untuk berwisata sejarah, di kota Karachi kita bisa mendatangi Mazar-e-Quaid atau Mausoleum Muhammad Ali Jinnah. Ini adalah makam founding father Pakistan. Makam Muhammad Ali Jinnah berada dalam bangunan berkubah yang terbuat dari marmer putih, Mausoleum ini terletak di tengah-tengah taman yang sangat luas, yaitu seluas 53 hektar. Di makam ini, biasanya pengunjung mendoakan Muhammad Ali Jinnah dan juga bisa berwisata di taman yang mengelilinginya.
Namun jangan terkejut apabila orang-orang setempat terus menerus memandangi kita ketika mengunjungi Mazar-e-Quaid. Karena memang tidak banyak turis asing yang mengunjungi kota Karachi. Saya pun kerap dipandangi oleh masyarakat sekitar, bahkan beberapa di antara mereka meminta foto bersama saya. Barangkali mereka jarang melihat orang dengan perawakan Asia Tenggara seperti saya, sehingga berfoto dengan turis asing menjadi kesenangan tersendiri bagi mereka.
KOMENTAR ANDA