KOMENTAR

DI ranah fesyen tanah air, nama Biyantie sebagai label tas kulit premium telah memiliki pangsa pasar tetap, baik di dalam dan luar negeri. Meski baru ‘resmi’ diluncurkan ke pasar pada 1 April 2015, Biyantie sukses memikat hati para penikmat fesyen melalui konsep custom yang ditawarkan. Jumlah Biyantie Addict, yaitu para konsumen setia Biyantie, mencapai angka fantastis: 3000 orang. Berpusat di Pengadegan, Jakarta Selatan, Biyantie kini memiliki 22 karyawan dan 10 mesin dalam proses produksi. Menggunakan bahan baku kulit premium yang diperoleh impor juga dari produsen di banyak daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogya, dan Malang, tas kulit Biyantie dibanderol 1,3 hingga 4 jutaan rupiah. Untuk menjangkau pasar lebih luas, hadir pula The Meer, second line dari Biyantie.

Di balik melesatnya nama Biyantie, ada kolaborasi apik suami istri Setiawan Ananto dan Meri Yu Arif. Di awal Biyantie berdiri, Meri menjadi sosok ‘utama’ dalam bisnis. Melakoni peran owner dan bertanggung jawab atas seluruh proses produksi hingga marketing. Namun menurut Meri, seiring berkembangnya usaha, ia kewalahan membagi peran dalam Biyantie sekaligus mengurus ketiga buah hatinya. Kini, sang kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh atas manajemen Biyantie. Meri lebih mengurus proses kreatif produksi sebagai ‘tangan kanan’ suaminya. “Saya adalah Kartini Indonesia yang harus berdaya dan aktif berperan tanpa meninggalkan sisi keperempuanan sebagai istri dan ibu,” ucap lulusan Hubungan Internasional yang pernah berkarir sebagai aktivis perempuan ini.

Berawal dari kebangkrutan berbisnis produk vinyl, Meri akhirnya berkenalan dengan kulit premium dan memperjuangkan kesuksesannya. Bagi Meri, berbisnis tas kulit adalah jodoh yang tidak sengaja bertemu namun membawa berkah bagi kehidupannya. Perjuangan membesarkan Biyantie ternyata tak melulu soal menghasilkan untung besar. Ada filosofi hidup lapang serta sedekah yang dijalankan Meri dan sang suami, yang terbukti membawa keberkahan dan kebahagiaan. Seperti apa kisahnya?

F: Apa saja kegiatan sosial yang dilakukan Biyantie?

SA: Banyak. Misalnya saja, membantu panti cacat di Semarang, membantu korban banjir di Yogya, membantu korban gempa di Lombok, mengirim perlengkapan sekolah untuk anak kelas 1-4 SD di Kalimantan, juga rutin mengirim buku ke taman-taman bacaan. Kami juga pernah diajak Dinas Perindustrian untuk menggelar sharing dengan para pelaku IKM di Palangkaraya. Berbagi ilmu. Alhamdulillah, sharing ini kontinu.

MYA: Untuk kegiatan sosial, kami biasanya menggelar lelang tas secara online. Uang hasil lelang itu kemudian dipakai untuk kebutuhan sosial. Dengan begitu kami tahu uang itu halal, sumbernya dari mana.

F: Mengapa rutin melakukan kegiatan sosial?

SA: Karena cita-cita jangka panjang kami adalah memiliki yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Insya Allah akan terwujud seiring perkembangan Biyantie. Untuk saat ini, kami banyak bekerja sama dengan Biyantie Addict dalam mengadakan aksi sosial.

MYA: Bagi saya dan suami, bisnis itu menyatu dengan kehidupan kami sehari-hari dan itu harus membuat kami bahagia. Uang, semakin dikeluarkan, semakin bermanfaat untuk orang lain, membuat kami merasa lapang dan menemukan kebahagiaan.

F: Jadi bisa dibilang bahwa social entrepreneurship menjadi ruh Biyantie, ya?

SA: Keyakinan kami dalam Islam, ketika menyedekahkan harta berharga yang kita punya, selain membersihkan juga akan kembali kepada kita berlipat ganda. Kami berusaha menjalankan hidup seimbang. Bisnis ini menjadi bekal dunia, sedangkan amal sosial mudah-mudahan menjadi bekal akhirat. Sama halnya kalau merugi, kami tidak merasa itu adalah cobaan yang berat.

MYA: Kalau ada tas rusak, ya kami perbaiki. Ada bagian yang patah, ya kami ganti. Apakah harus bayar lagi? Tidak. Kami tidak mau memikirkan hal-hal yang tidak perlu kami pikirkan. Konsep lapang ini yang kami bawa dari awal memulai usaha.

F: Apakah kegiatan sosial ini rutin digelar setiap bulan?

SA: Tidak harus sebulan sekali, tapi lebih kepada momentum. Saat ini, Biyantie Addict yang terbentuk baru ada di Semarang dan Jakarta. Rencana kami, nanti kami rutin menggelar kopi darat dengan mereka di seluruh Indonesia.

MYA: Allah tahu niat yang kami tekadkan untuk bersedekah. Karena itulah Allah selalu membukakan jalan sedekah bagi kami dari berbagai ‘pintu’. Ada saja orang yang menghubungi saya untuk meminta bantuan. Dan mengingat kami dulu sering mendapat bantuan orang dalam pengembangan Biyantie, kami kini berkomitmen membantu pelaku IKM untuk mengembangkan usaha mereka. Tapi tentu saja ada hitam di atas putih, harus jelas visi, misi, program, dan progressnya. Dengan begitu, apa yang kami share, it works.

F: Jika bicara tentang Biyantie, mengapa memilih konsep custom?

MYA: Saya senang melakukan sesuatu secara personal. Saya suka detail, heart to heart. Saya menanyakan kepada pembeli, tas ini akan dipakai ke mana, apakah lebih nyaman membawa tas yang dijinjing atau yang ditaruh di bahu, juga apakah mereka menyukai warna terang atau tidak. Pada akhirnya, ini menjadi kedekatan personal antara saya dan konsumen. Ketika mereka pakai Biyantie untuk bekerja atau hangout, mereka happy dan tidak perlu lagi melirik kanan-kiri. Kami mendukung konsumen untuk menjawab kebutuhan mereka.

 

F: Apa yang harus dilakukan perempuan untuk mulai berbisnis?

MYA: Pertama, fokus menggali passion, apa yang ingin digarap. Kedua, mengganti teman-teman. Ketika memutuskan menjadi entrepreneur, maka bersahabatlah dengan para pelaku IKM yang sudah eksis, juga banyak membaca referensi terkait dunia usaha. Ketiga, segera mengeksekusi ide. Setelah terwujud, kita bisa learning by doing. Kita harus selalu belajar untuk selalu kreatif dan inovatif mengembangkan usaha.

Selengkapnya baca di majalah Farah edisi 5 / Terbit Oktober 2018.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women