SYAHDAN, berkah energi shalawatlah, sejumlah ulama dan orang-orang shaleh di setiap zaman menemukan sejumlah pengalaman menakjubkan.
“Ya Nabi, salaam ‘alaika. Ya Rasul salaam ‘alaika...”
“Ya Habib, salaam ‘alaika. Shalawatullah ‘alaika...”
[Wahai Nabi, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu. Wahai Rasul, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu. Wahai kekasih, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu. Rahmat Allah semoga tetap tercurah kepadamu.]
Biarkanlah senandung shalawat itu membasahi bibir Anda. Biarkanlah ia merasuk ke dalam sukma, mengisi renik-renik jiwa Anda. Dan terimalah damai dan syahdu yang lamat-lamat menyelinap ke dalam relung-relung kalbu Anda.
Tak perlu sedu sedan yang dipaksa, tak usah. Karena ia akan hadir tanpa diminta bersama gema suara Anda. Energi manusia pilihan, Muhammad saw, akan meluruh seiring sejalan shalawat Anda.
Kenapa? Karena ia, sang Nabi pamungkas itu, akan menjawab rintih rindu Anda.
Bukankah dalam sebuah sabdanya, ia pernah berujar, “Siapa yang berziarah kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku, maka Allah kembalikan ruh ke dalam diriku, dan kemudian aku akan menjawab salamnya.” [HR. Imam Ahmad dan Abu Daud]
Mari saya kutipkan satu lagi seruan sang Nabi untuk lebih meyakinkan. Begini bunyinya: “Tiadalah salah seorang di antara kamu yang mengucapkan salam kepadaku sesudah aku meninggal, melainkan malaikat Jibril datang kepadaku seraya mengucapkan: ‘wahai Muhammad, ini Fulan bin Fulan mengucapkan salam untukmu, maka aku menjawab: “dan atasnya salam dan rahmat serta berkah dari Allah”. (HR. Abu Daud)
“Ya Nabi, salaam ‘alaika. Ya Rasul salaam ‘alaika...”
“Ya Habib, salaam ‘alaika. Shalawatullah ‘alaika...”
Teruslah bersenandung memanggil-manggil namanya. Biarkanlah desah basah lidah Anda meruapkan energi rindu itu, tak terpermanai nikmatnya, tiada tara rasanya.
Saudaraku, sungguh luar biasa, Sang Khalik pun menyenandungkan shalawat untuknya. Tidak hanya itu, para “abdi dalem”-Nya pun, para malaikat, melakukan hal serupa: bershalawat. Dia, Allah Azza wa Jalla, pun lantas menitahkan demikian kepada kita, hamba-Nya, umat Nabi-Nya. Duh, Kawan, tidakkah ayat itu mengoyak batin Anda. Mungkin Anda pernah membaca Tafsir Misbah yang disusun Prof. Quraish Shihab, mufasir kenamaan Indonesia itu. Buka-bukalah lagi Tafsir-nya. Baca, bacalah kembali. Dan lihatlah ayat tersebut begitu memberi pencerahan saat diuraikanya.
Quraish memaparkan betapa segenap sifat terpuji terhimpun di dalam diri Muhammad, insan pilihan yang telah menorehkan jejak jasa terlampau berharga dan tak ternilai untuk umat manusia berabad-abad kemudian. Karenanya, Allah begitu cinta dan kagum kepadanya. Begitu pula mahluk-mahluk suci-Nya.
Ya, Saudaraku, tentu saja ada perbedaan “isi” shalawat Sang Rahman dan kita. Saat Dia bershalawat, Dia tengah mencurahkan anugerah dan rahmat kepada putra Abdullah itu. Sedang kita, mahluk yang setiap saat bergumul dengan dosa, tengah menghiba secuil syafaatnya, agar Allah mengirim setitik anugerah-Nya.
Saudaraku, bila penghuni langit bershalawat untuknya, kenapa sebagian kita, penghuni bumi, masih ada yang angkuh, yang malas, yang ber-hujjah ini-itu, untuk sekadar bershalawat kepadanya.
Kenapa kita begitu pelit menyanjung nama manusia yang telah begitu berjasa itu? Tidakkah mereka tahu bahwa jauh sebelum Adam diciptakan, cahaya Muhammad sudah menyentuh nabi-nabi-Nya yang lain? Berkat junjungan kita itu, Allah menciptakan Adam dan segenap mahluk lainnya.
Saya jadi teringat sebuah hadits yang menyebutkan begini: Ketika Adam berbuat dosa, ia mengangkat kepalanya ke langit dan berkata: “Aku memohon demi hak Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah kemudian mewahyukan kepadanya: “Siapa Muhammad itu?” Adam menjawab Mahamulia asma-Mu. Dan di situ tertulis: La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Maka tahulah aku bahwa tidak seorang pun lebih besar kedudukannya di-hadapan-Mu selain orang yang namanya bersama nama-Mu. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya: “Hai Adam, sesungguhnya ia adalah Nabi yang terakhir dari keturunanmu. Kalau tidak ada dia, Aku tidak menciptakan kamu.”
“Ya Nabi, salaam ‘alaika. Ya Rasul salaam ‘alaika...”
“Ya Habib, salaam ‘alaika. Shalawatullah ‘alaika...”
Saudaraku, teruslah melantunkan shalawat. Syahdan, berkah energi shalawatlah, sejumlah ulama dan orang-orang shaleh di setiap zaman menemukan sejumlah pengalaman menakjubkan. Keajaiban. Keanehan. Kemurahan. Kenikmatan. Keindahan. Senarai kejadian yang melampaui nalar, baik material, maupun spiritual.
Semua rasa itu pernah mengisi mereka lantaran mendawamkan shalawat. Barangkalali Anda sendiri salah satunya, atau bisa jadi keluarga Anda, atau mungkin kyai dan ustadz Anda. Karenaya, saya tak ingin menyinggungnya di kolom kecil ini.
Simpanlah indahnya berkah shalawat itu di sanubari Anda.
Saya, penulis yang dhaif dan hina ini, dan barangkali saudara semuslim lainnya sejatinya tengah mengais-ngais apa yang Anda alami itu. Kami pun ingin mencecap buah manis serupa. Kami ingin seperti Anda, merasakan betapa kebajikan dan kebaikan begitu melimpah saat bershalawat kepada Muhammad.
Meski acapkali terpenjara nafsu, kami ingin sekali menjalani petuah Imam Nawawi, “Janganlah pernah bosan mengulangi shalawat, siapa yang mengabaikan hal ini, maka dia telah luput meraih kebajikan yang banyak.” (F/Berbagai sumber)
KOMENTAR ANDA