ORANG seringkali mengartikan “berdaya” sebagai “mampu menghasilkan uang sendiri”. Padahal berdaya sejatinya bersifat komprehensif.
Istilah Pemberdayaan Perempuan (women empowerment) menjadi sedemikian penting di era modern ini. Dalam skala makro, Indonesia memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dn Perlindungan Anak. Data dari situs resmi KEMENPPPA menyebutkan bahwa program prioritas KEMENPPPA yang berkaitan dengan perempuan adalah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, mengakhiri perdagangan perempuan, dan mengakhiri kesenjangan ekonomi-dalam hal ini perempuan sebagai pelaku usaha.
Membaca program prioritas tersebut, kita dapat melihat bahwa pemberdayaan perempuan tidak mutlak soal berdaya secara ekonomi. Ada aspek lain yang harus dimiliki perempuan untuk bisa menjadi manusia berdaya, agar hak dan kewajibannya berjalan seimbang seperti halnya laki-laki. Perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapat informasi, pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, pelayanan publik, hak berpolitik, hak bersuara di ranah domestik dan masyarakat, serta kesetaraan hukum. Ini berarti, perempuan yang berdaya adalah perempuan yang memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal positif dalam hidupnya sekaligus membuat pilihan dalam hidupnya. Maka, jika perempuan tidak bisa membuat pilihan atas hidupnya sendiri, saat itulah dia diartikan tidak berdaya.
Bahagia VS Berdaya
Berdaya secara ekonomi adalah salah satu pilihan yang dibuat perempuan. Membantu perekonomian keluarga adalah salah satu semangat yang melatarbelakangi lahirnya pilihan untuk berwirausaha atau berkarir secara profesional di sebuah perusahaan. Perempuan yang dengan sadar memilih memiliki aktivitas di luar urusan rumah tangga berusaha menjalankan konsekuensi pilihannya dengan segenap hati. Ia sebisa mungkin tidak mengabaikan kebutuhan suami dan anak-anaknya. Ia tetap menjalankan peran sebagai istri dan ibu meski kehadiran fisiknya tidak 100% ada di rumah selama 24 jam. Dia bahagia dengan pilihannya.
Namun berbeda jika seorang istri dipaksa bekerja oleh suaminya yang memilih menganggur dan mengadu peruntungan lewat judi. Uang hasil jerih payah istri dihabiskan untuk berjudi. Kebutuhan anak tidak dipedulikan. Jika kalah, suami tak segan melakukan kekerasan terhadap istri untuk memaksanya mendapat uang tambahan tanpa peduli dari mana sumbernya. Dalam kasus ini, perempuan yang menghasilkan uang sendiri itu tidak bisa dibilang berdaya atas hidupnya.
Lain lagi dengan seorang perempuan berijazah S1 lalu memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Dia mengabdikan diri untuk suami dan anak-anaknya. Dengan bekal ilmu dan wawasan yang ia punya, ia mendidik anak-anaknya dengan baik. Mempersiapkan lahirnya generasi masa depan yang gemilang. Tak hanya dari sisi akademis, tapi juga akhlak. Dia menjahit baju untuk suami dan anak-anaknya, memasak beragam masakan lezat nan sehat, menularkan kesukaan dan kebisaan beberapa cabang olahraga, juga terampil mengatur keuangan keluarga agar tanggal muda dan tua tidak terlalu terasa perbedaannya. Dan dia amat menikmati hari-harinya. Bukankah dia berhak disebut perempuan berdaya meski tidak memiliki penghasilan sendiri?
Berdaya Secara Luas
Jika membicarakan pemberdayaan perempuan secara ekonomi, maka kita melihat bahwa kesempatan perempuan sudah terbuka lebar. Tinggal bagaimana memanfatkan peluang usaha dan mengelolanya secara profesional. Di sinilah peran pemerintah, lembaga sosial, maupun komunitas perempuan diperlukan untuk menggapai perempuan di seluruh penjuru Indonesia agar bisa berdaya. Langkah pertamanya tentulah memberi pelatihan-pelatihan yang bermanfaat bagi para perempuan untuk mulai menjadi entrepreneur.
Saat seorang perempuan sudah mapan berbisnis, ada “pemberdayaan” lain yang harusnya ia lakukan. Dalam arti, dia harus mampu memberdayakan orang lain untuk dapat merasakan kesempatan hidup yang lebih baik. Ketika bisnisnya sukses, dia menjadi CEO, dia akan menjadi pemimpin yang amanah. Tidak menjadi bos yang arogan yang tidak mempedulikan kesejahteraan para karyawannya. Dia pun tidak segan menyisihkan sebagian keuntungan untuk menjalankan program CSR yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Yang di dalam program-programnya tentu saja berkaitan dengan peningkatan kualitas perempuan.
Ketika perempuan disematkan label sebagai pengusaha sukses, ia seharusnya menjelma menjadi seorang filantropis. Ia mencintai orang lain dengan kedermawanannya. Ia tak hanya memikirkan tentang keuntungan materi, tapi juga peduli sosial dan menjadi penggagas berbagai program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan itu menjadi ‘virus’ yang menular dan berkelanjutan.
Contoh lainnya, andai kita menjadi pakar pendidikan dan pengasuhan anak, kerap kali dipanggil untuk menjadi pembicara di berbagai seminar pendidikan. Hati nurani seorang perempuan seharusnya menyadari bahwa berbagai seminar tersebut bertujuan utama untuk menghasilkan sistem pendidikan dan parenting yang baik untuk semua orang. Bukan hanya para orangtua muda urban yang sanggup membayar ratusan ribu untuk satu kali sesi seminar pengasuhan. Kita, sebagai perempuan berdaya, juga bisa memilih untuk berkelana ke kampung-kampung dan memberi ‘pelatihan’ pengasuhan anak tanpa memikirkan biaya HTM. Di sinilah perempuan yang berdaya secara keilmuan ini dapat memberdayakan para ibu di strata ekonomi bawah untuk lebih menyayangi anak, tidak memaksa anak menjadi pekerja, dan mendidik anak agar tetap berprestasi di sekolah meski kondisi sosial ekonomi tidak terlalu beruntung.
Perempuan, Ayo Berdaya!
Perlu disadari bahwa pemberdayaan perempuan sejatinya tidak hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga negara. Perempuan yang sehat secara reproduksi, maju secara akademik, dan produktif secara ekonomi akan menjadikan negara ini kuat. Jumlah perempuan dalam konteks demografi akan menjadi kekuatan yang merata di seluruh daerah. Tidak heran bila negara yang sejahtera haruslah memiliki indikator kualitas ibu (perempuan) yang baik. Perempuan tak hanya menjadi tiang keluarga, tapi juga tiang negara yang menentukan kualitas bangsa di masa depan.
Perempuan berhak memilih menjadi berdaya dengan caranya sendiri. Dan sebagai muslimah, perempuan harus menaati nilai-nilai Islam dalam proses pemberdayaannya. Jika dia seorang istri, maka janganlah keinginan untuk berdaya merendahkan posisi suami sebagai Imam dan kepala keluarga. Jadilah layaknya Khadijah dan Aisyah yang berkepribadian unggul tapi tidak lantas ingin mengungguli Rasulullah.
Setiap perempuan hendaknya dapat menjadi agen pemberdayaan sesamanya. Tidak pelit ilmu, tidak merasa rugi jika memberi masukan kepada orang lain (baca: perempuan) yang membutuhkan. Karena Rasul telah menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Karena manakala perempuan bersikap sombong lalu enggan menyemangati yang lain untuk bisa sama-sama mendapatkan kehidupan yang layak dan bahagia, layakkah ia disebut perempuan berdaya?
KOMENTAR ANDA