Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KHALAYAK terbiasa memperingati semarak usia 50 tahun. Perayaan umur setengah abad ini digelar besar-besaran karena akan sangat sulit mencapai usia 100 tahun atau seabad. Lain halnya, dalam kacamata Islam, jika ingin meneladani Rasulullah saw., kita hendaknya mulai berkaca diri pada 40 tahun, karena tepat pada usia itu Nabi Muhammad resmi dilantik mengemban amanah sebagai utusan Allah.

Usia 40 dipandang sudah matang menjadi pribadi dengan kualitas diri mumpuni dan kematangan dalam memandang hakikat kehidupan. Kedengarannya cukup manis melalui usia 40 tahun ini, usia indah untuk menikmati hidup. Tetapi pada usia itu pula sesungguhnya masalah kehidupan menemukan kematangan dirinya. Ujian-ujian hidup akan langsung menusuk ke jantung orientasi kehidupan yang kita pegang.

Mapan Tapi Merasa Kurang

Pada usia 40 tahun, rata-rata kondisi ekonomi sudah mapan, karir sedang bagus atau bisnis sudah kokoh. Namun masih saja ada yang merasa belum mapan. Akibatnya, pada usia 40 tahun, dia masih jungkir balik mengejar kekuatan ekonomi, alasannya bisa jadi karena kebutuhan anak bertambah.

Kalau hawa nafsu yang diperturutkan, maka tidak akan pernah bertemu yang namanya kata cukup. Apabila syukur yang dikedepankan, kita dapat melihat betapa banyaknya nikmat dan karunia Ilahi selama ini. Pandangan positif ini amat penting agar mental tidak ambruk karena terjebak persepsi keliru merasa gagal padahal sudah tua.

Ujian Stamina

Pada 40 tahun pula menjadi usia saat stamina tubuh mulai merosot, ketangguhan melorot seiring serbuan berbagai jenis penyakit modern semacam kolesterol, jantung, ginjal, obesitas, ambeien, diabetes, stroke, dan lain-lain. Inilah usia ketika kesadaran terhadap kesehatan harus menjadi perhatian besar. Pada usia 40 tahun kita mesti jujur mengukur stamina; memperbanyak olahraga serta menjaga pola hidup sehat. Karena, setelahnya, berkisar 10-15 tahun berikutnya, kita sudah masuk masa pensiun yang diharapkan berlangsung indah, bukannya dihabiskan terkapar di ruang perawatan.

Puber Kedua

Ini barangkali jadi bahan perdebatan, usia 40 tahun diyakini menjadi ‘masa keemasan dari puber kedua; sudah mulai melirik-lirik yang lain, sudah genit menantang bahaya dengan menggoda yang bukan pasangannya, atau nekat berselingkuh. Perkara puber kedua banyak pro kontra, tapi jika memang terjadi, mungkin disebabkan faktor hubungan yang monoton hingga terasa hambar.

Masalah macam ini biasanya menjadi prahara apabila tidak ditata dengan bijaksana akan membuat ulang tahun ke 40 menjadi kiamat rumah tangga. Mau benar atau tidak soal puber kedua, yang jelas kita memang harus siap dengan kemungkinan terburuk. Selain menatap suami atau istri, sering-seringlah menatap anak-anak, buah hati yang akan memikul beban besar jika orangtuanya memilih ceroboh.

Cinta Yang Makin Sering Ditanya

Setelah melalui umur 40 tahun kehidupan, kita makin merasakan indahnya mencintai dan dicintai, dan kalaupun tidak terucap di mulut, hati sering mengemukakan tanya, “Apakah aku mencintainya? Apakah dia mencintaiku?”

Repotnya jika kita selalu menuntut cinta tapi tidak pernah mau mengoreksi diri sendiri. Padahal di usia yang matang ini kita menjadi makin paham tentang pentingnya hati yang diliputi cinta. Hanya saja, sedikit yang paham, siapa yang tidak mencintai maka dirinya tak akan dicintai. Mempertanyakan cinta boleh saja, tapi lebih mulia jika tidak hanya bertanya tapi juga membuktikan cinta kepada pasangan.

Apakah Bahagia?

Kemudian kita pun lebih terbuka mengatakan pada pasangan, “Aku tidak bahagia.” Padahal, kebahagiaan itu urusan yang berkaitan dengan hati kita masing-masing. Sekeras apapun usaha suami atau istri membahagiakan pasangannya, dia tidak akan bahagia kalau tidak pandai bersabar dan bersyukur. Benar, pada usia 40 tahun orang-orang sudah mencari makna kehidupan, dan wajar suami istri mulai mempertanyakan kebahagiaan. Sebelum mempertanyakan lebih baik tanyakan dulu pada hati sendiri apakah pasangan sudah bahagia bersama kita.

Kita tidak akan pernah bahagia jika terus memintanya dari orang lain, karena manusia itu mahluk yang amat lemah dan tidak satu orang pun yang mampu membahagiakan diri kita. Bahagia itu bukan pada diri orang lain, tapi pada diri kita sendiri. Bahagia itu bukan dengan meminta, tetapi dengan memberikannya.

Ancaman Bosan

Pada usia 40 tahun, diperkirakan suami istri sudah bersama dalam rentang 10-15 tahun. Suami sudah paham seluk-beluk istrinya, pun sebaliknya. Sudah tidak ada rahasia antara keduanya. Lebih 10 tahun melihat, merasakan dan mencicipi sesuatu yang sama, tentu akan membuat pasutri tertantang dalam tabiat dasar manusia, yaitu bosan. Suami istri yang karakternya masih kekanak-kanakan di usia 40 tahun bisa jadi saling mencampakkan. Perlu kematangan jiwa di usia 40 tahun. Kebersamaan lebih dari 10 tahun tidak akan utuh jika mengandalkan rupawannya wajah atau keindahan fisik. Lebih dari itu, keindahan hati akan lebih banyak menentukan langgeng tidaknya hubungan sakral perkawinan.

Apa saja yang dapat membosankan? Segala hal yang bersifat fisik atau materi atau yang kasat mata. Kita bisa bosan dengan kecantikan istri, meski dulu pernah tergila-gila. Kita bisa bosan dengan ketampanan suami walau dulu nyaris tak berkedip memandangnya. Suami istri akan bosan dengan rumah, mobil, perhiasan, perabot, hewan peliharaan, dan lainnya. Lalu apa yang tidak akan membuat bosan? Ya, segala sesuatu yang nilainya melebihi harta benda.

 

Menjadi Nabi

Akhirnya, inilah usia yang tepat menjadi nabi, karena pada umur 40 tahun Rasulullah Saw. resmi dilantik menjadi utusan Allah. Tentu saja tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad dan tidak mungkin pula kita menjadi nabi utusan Allah. Maksud menjadi nabi di sini ialah suami istri mengambil peran menyampaikan risalah-risalah ketuhanan kepada umat manusia. Jadi, lebih tepat menyebutnya adalah menjadi (seperti) nabi.

Tatkala resmi diangkat sebagai nabi, bukan Rasulullah saja yang berjuang sekuat tenaga demi menegakkan risalah tauhid. Beliau berhasil menggandeng istri tercinta menjalankan misi kebaikan di muka bumi ini. Istrinya, Khadijah turut menjadi tulang punggung utama. Harta bendanya sampai habis ludes, bahkan perempuan yang sudah tua itu memikul ransum makanan dan mengantarkannya untuk sang suami dan kaum muslimin di celah-celah bukit batu di luar Mekah yang sedang diboikot. Dengan segenap pengorbanannya, Khadijah menutup mata dengan tenang, meski saat wafat dia sama sekali belum menikmati buah manis perjuangan Islam.

Hiduplah untuk yang Maha Hidup, yaitu Allah Swt. Suami istri hendaknya bermitra membawa keluarga dalam misi mulia, yang tidak lagi mengejar dunia. Usia 40 tahun sudah cukup jungkir balik dalam urusan dunia, jadikanlah dunia sebagai jembatan menuju kehidupan akhirat yang terbaik. Inilah usia yang mengantarkan kita menjadi yang terbaik dari yang terbaik untuk menebar kebaikan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur