“JIWA yang sedih dapat membunuh kita lebih cepat daripada kuman.”
[John Steinbeck]
Dalam cinta, siapakah yang bisa menyangkal hipotesa ini: perpisahan itu fase yang paling menyakitkan. Terlebih, begitu banyak buku yang telah mengabadikan pelbagai kisahnya. Beragam genre, berupa-rupa pula alurnya. Dan isinya, tentu saja, hampir seragam: ada airmata, ada luka, ada lubang hati yang menganga.
Betapa tidak? Dua sejoli yang dilanda kasmaran; yang tengah menabung harapan demi masa depan, yang buhul cintanya akan dikhatamkan dalam mahligai pernikahan—tiba-tiba—pupus di tengah jalan. Dan kehidupan pun seperti rampung. Tiada lagi mimpi-mimpi. Semua terasa runtuh. Bahkan tubuh selayak tak ber-ruh. Tak aneh, sejumlah peristiwa tragis kerap menimpa seseorang yang berpisah dengan pujaannya; ada yang gila, ada yang bungkam seribu bahasa, ada yang tak enak makan-tak enak tidur, hingga ada yang bunuh diri. Wajar bila novelis John Steinbeck mengatakan: ““Jiwa yang sedih dapat membunuh kita lebih cepat daripada kuman.”
Karena sakit tak terperi akibat perpisahan cinta, seseorang bisa berhari-hari, bahkan bertahun-tahun merekam trauma di hati untuk menjalani proses penyembuhan; untuk bangkit belajar mencintai, untuk merasakan kembali pagi yang baru dan malam nan biru. Anda mungkin tengah bergelut di dalamnya, tengah merasakan siang dan malam yang sesak itu. Tenang, Anda tidak sendiri.
Bahkan tokoh sekaliber Ibnu Hazm Al-Andalusi, ulama dan pujangga besar Islam abad V saja begitu rapuh dan goyah ketika buhul mahabbahnya terputus. Syahdan, saat usianya belum genap 20 tahun, ia mencintai dan menyayangi Nu’am, perempuan sahayanya.
“Ia memiliki keelokan fisik dan kemuliaan pekerti. Semua harapan saya tentang perempuan ada padanya. Kebetulan saja saya majikannya. Namun, antara saya dan dia terjalin cinta yang setara. Namun kemudian, takdir berbicara lain. Kematian memisahkan kami berdua. Sang waktu telah berhenti untuknya. Tujuh bulan sejak kematiannya, saya benar-benar menderita. Saya laiknya orang gila. Saya tak pernah ganti pakaian. Airmata saya meleleh tiada hentinya. Padahal, saya tergolong orang yang sulit mengeluarkan airmata...” [Lihat Ibnu Hazm Al-Andalusi dalam buku Thauq Al-Hamamah fi Ilfah wa Al-Ullaf [versi terjemah diterbikan Penerbit Mizan dengan judul Risalah Cinta, Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta: 2009]
Tak Ada Yang Abadi
Hukum mutlak kehidupan itu selalu berubah. Ia fana. Dan yang fana, tidak ada yang abadi, tidak kekal. Maka itulah, setiap cita dan cinta tidak selalu seperti yang kita idam-idamkan. Akan selalu ada kisah kepiluan seperti perpisahan, akan selalu ada skenario penderitaan dalam kadar persentasenya yang kita tidak tahu.
Apa yang harus dilakukan bila hal ini terjadi?
Pertama: mengikhlaskan. Sikap ikhlas adalah sikap memasrahkan dan melapangkan hal yang sudah [dan akan] terjadi. Anda ikhlas, maka Anda tengah menyerahkan “Kecerdasan” Allah yang bekerja, bukan kecerdasan Anda. Anda ikhlas, berarti Anda tengah menerapkan “Pikiran” Tuhan yang bekerja, bukan pikiran Anda. Berikhlas merupakan sebuah pernyataan adanya mekanisme di luar daya dan upaya kita, di luar nalar dan perasaan kita ,yang bisa memungkinkan yang tidak mungkin dengan mekanisme yang sulit dipahami [unthinkable].
Pada level inilah, hati yang kecewa pelan-pelan akan terisi oleh energi-Nya. Sebab, tanpa sikap mengikhlaskan, Anda akan menjalani hidup yang tidak berpijak di bumi, namun tidak juga berada di langit; mengawang-awang, Anda hidup di masa kini, tapi jiwa terbelenggu masa lalu. Andalah yang memutuskan apakah ingin terus hidup dalam kesedihan atau bangkit menjemput kebahagiaan baru.
Memang, upaya healing [penyembuhan] setelah perpisahan itu membutuhkan proses. Untuk itu, bila tidak ingin terus-menerus terjebak dalam lingkaran setannya, Anda perlu habiskan kecewa itu dalam satu waktu. Bila memang harus menangis, maka menangislah saat itu juga. Sediakan waktu untuk menumpahkannya dan jangan kembali lagi. Setelah itu, berikhlaslah, berserahlah kepada-Nya. Bila itu terjadi lagi, tariklah napas dalam-dalam dan buanglah seraya berkata kepada diri sendiri: “Ya Allah, saya kembalikan semua kepada-Mu! Saya pasrahkan semua kepada-Mu!”
Siapa tahu, setelah Anda berikhlas, Anda akan menemukan jawaban-jawaban tak terduga seperti yang ditahbiskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ja’far ini: “Apabila seorang hamba berkata ‘tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah,’ maka Allah akan menjawab, ‘Hai, para malaikat-Ku! Hamba-Ku telah berpasrah diri, maka bantulah dia, tolonglah dia, dan sampaikan [penuhi] hajatnya.”
Kedua: proses pendewasaan diri. Perpisahan, sejatinya, adalah proses pematangan diri, proses menuju menjadi pribadi yang kuat. Bukankah orang-orang besar, orang-orang sukses, pribadi-pribadi yang luar biasa adalah mereka yang dilatih Allah hidup dalam banyak tragedi dan airmata? Pelajarilah kisah para Nabi dan tokoh-tokoh besar yang berhasil mensublimasi penderitaan mereka menjadi mutiara berharga.
Ketiga: mencintai karena Allah dan berpisah karena-Nya. Perpisahan yang tidak bisa Anda terima itu umumnya bersumber dari mencintai bukan karena-Nya; lebih kepada nafsu dan pemusatan energi manusiawi semata. Umumnya, diterapkan dalam istilah ‘pacaran’: hubungan lawan jenis yang dalam Islam, hakikatnya, tidak dikenal. Biasanya terjadi relasi asyik-masyuk sebelum pernikahan diresmikan. Hal ini tentu berpotensi melanggar syariah dan berdampak buruk bila hal yang idam-idamkan tidak tercapai.
Karena itulah, bila Anda mencintai seseorang dan berniat baik ingin menikah dengannya, maka munajatlah kepada Allah agar Anda mencintai karena-Nya. Pada titik ini, Anda bisa menjalani proses mencintai seperti yang dianjurkan Nabi: “Cintailah kekasihmu sekadarnya saja....” [HR. Bukhari] Dalam hadis ini, menurut tafsir saya, Anda diajak ta’aruf [mengenal] orang yang Anda cintai dalam batas yang tidak berlebihan yang sesuai dengan rambu-rambu-Nya.
Bila hal ini yang dijadikan panduan, maka perpisahan yang terjadi pun kelak akan tidak begitu menyakitkan. Sebab, Anda berpisah karena keyakinan iman kepada-Nya: bahwa bisa jadi pujaan hati yang Anda dambakan itu bukan yang terbaik dan terindah untuk mahligai rumah tangga. Anda meyakini perjumpaan dan perpisahan dengan seseorang yang Anda cintai adalah skenario dan disain yang telah diatur-Nya.
Keempat: kesempatan kedua. Bila Allah menakdirkan perpisahan, insya Allah, Dia beri kesempatan untuk sebuah pertemuan dengan pujaan yang baru. Dia akan menyusun skenario tanpa kita duga dalam mendapatkan kesempatan kedua untuk mencintai lalu menikahi seseorang.
Kisah junjungan kita, Rasulullah saw, bisa dijadikan rujukan. Ketika mengalami perpisahan dengan Siti Khadijah, beliau begitu terpukul. Bersedih atas wafatnya sang cinta pertama. Namun, ia bangkit. Memasrahkan semua kepada Allah. Lalu akhirnya, bertemu Siti ‘Aisyah. ‘Aisyah ini konon menjadi cinta Nabi yang tak kalah besarnya dibanding Khadijah. Inilah hikmahnya. Ada kesempatan lagi untuk mencintai, kesempatan kedua untuk menyayangi makhluk Allah karena-Nya. Karena cinta sejati toh memang akan selalu terikat dan dirajut oleh-Nya. Wallahu’alam bishshawab.
KOMENTAR ANDA