PASANGAN suami istri tentu menginginkan perkawinan layaknya surga dunia, cahaya yang menjadi sumber kebahagiaan lahir dan batin. Karena itulah, banyak individu mencari pasangan dengan karakter yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang kekurangan diri mereka. Dengan menikah, laki-laki dan perempuan memimpikan kehidupan yang lebih baik dan menjadi pribadi yang berkualitas lebih baik.
Sayangnya, kita tidak bisa menjamin bahwa kepribadian seseorang tidak akan berubah dalam jangka 5, 10, atau 15 tahun. Perubahan zaman, perubahan lingkungan, dan juga proses berpikir yang tanpa henti, dapat membuat perubahan dalam cara pandang maupun sikap seseorang terhadap realitas. Kita bisa dibuat heran melihat pribadi pasangan yang berubah drastis. Seperti hidup dengan orang baru, begitu kira-kira pikiran yang bergelayut di benak kita.
Yang membahayakan adalah ketika perubahan itu terjadi ke arah yang negatif bahkan cenderung membahayakan. Jika demikian, kita berada pada sebuah hubungan yang disebut dengan toxic relationship. Hubungan beracun ini adalah sebuah tahapan ketika salah satu pihak secara emosional maupun fisik membahayakan pasangannya dan pihak lainnya menganggap biasa dan tidak mempedulikan apa yang menimpanya karena tidak ingin berpisah.
Ciri Toxic Relationship
Nuniek Yuniati, M.Psi., Psi. menjelaskan bahwa ciri hubungan yang sudah beracun adalah ketika hubungan tersebut sudah tidak lagi mengarah kepada tujuan awal pernikahan, justru sebaliknya, tidak lagi memberikan rasa aman dan nyaman secara fisik maupun psikologis, Dalam suatu hubungan, konflik adalah hal yang wajar terjadi dalam proses penyesuaian dua pribadi yang berbeda. Namun ketika sudah mulai memunculkan interaksi yang membuat kita merasa tidak nyaman berada di dekatnya, taku, cemas, merasa tidak berharga, terintimidasi bahkan terancam, bisa jadi kita sudah berada dalam hubungan yang beracun.
Contoh konkret misalnya ketika 1) Pasangan sering berbicara kasar, berteriak, atau mengancam. 2) Pasangan tidak mau berkomunikasi secara sehat karena hanya ingin didengar dan merasa menang sendiri. 3) Pasangan selalu menyalahkan, mengkritik, dan meremehkan dengan apapun yang ada di diri kita. 4) Pasangan selalu menuntut keinginannya dipenuthi tanpa berupaya memahami dan memenuhi perasaan dan keinginan kita. 5) Pasangan melakukan ancaman hingga kekerasan fisik.
Ketika hubungan yang tidak sehat atau beracun dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan mental atau psikologis yang kemudian berpengaruh pada bagaimana seseorang menjalankan fungsi dan perannya sehari-hari, termasuk dalam perannya sebagai ibu. Bagaimana dia akan mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada anak ketika dia sendiri merasa ada yang salah dan kurang pada dirinya. Sementara pengasuhan anak menjadi tanggung jawab kedua pihak (suami dan istri), tentulah diperlukan kerjasama yang baik dan hubungan harmonis suami-istri dalam mengasuh anak.
Menepi dari Hubungan Beracun
Lalu apa yang harus dilakukan ketika kita sudah berada dalam hubungan beracun? Psikolog Nuniek menyatakan ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu 1) Meminta bantuan dari ahli misal konselor perkawinan untuk membahas sejauh mana 'racun' yang ada dan mengenali beberapa alternatif solusi. 2) Menentukan batasan apakah kita masih bisa menerima atau sudah tidak bisa menerima perlakuan negatif pasangan. 3) Jika jalan kompromi sudah tidak mungkin dilakukan, segera ambil keputusan untuk meninggalkan hubungan itu.
Mengapa harus pergi dari hubungan beracun? Karena hubungan ini tidak akan memberi hal baik pada diri kita bahkan juga berdampak negatif untuk orang-orang di sekeliling kita. Akan butuh begitu banyak energi untuk bisa bertahan dalam sebuah toxic relationship. Apakah kita akan membiarkan kehidupan kita dicemari perilaku negatif pasangan untuk seumur hidup kita? Ini bukan tentang memendam perasaan, tapi tentang kebaikan yang jauh lebih besar bagi diri kita, anak-anak dan keluarga.
Kita harus memikirkan matang-matang, kepentingan anak yang mana yang ingin kita utamakan? Anak lebih membutuhkan lingkungan yang sehat untuk bisa tumbuh menjadi pribadi yang sehat. Akan lebih sulit baginya untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga yang ‘beracun’. Anak akan melihat dan tanpa sadar mempelajari pola hubungan yang tidak sehat. Bukan tidak mungkin anak akan berpikir bagaimana ibunya yang lemah dan tersakiti akan mampu memberikan pengasuhan dan bimbingan yang memadai, karena sang ibu pun belum bisa ‘menyelamatkan’ dirinya sendiri.
Jika pasangan memutuskan untuk berpisah, ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu
1. Menerima setiap kejadian dan kondisi dengan ikhlas sekaligus meyakini bahwa berpisah adalah jalan terbaik bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
2. Memaafkan mantan pasangan, tidak menyimpan dendam, dan memupuk pikiran positif.
3. Melakukan introspeksi diri sebagai bahan perbaikan diri agar terhindar dari hal yang sama di kemudian hari.
4. Mengisi waktu dengan hal-hal positif yang dapat memberikan rasa senang, bahagia, dan kasih sayang terhadap orang lain sekaligus memupuk keberhargaan terhadap diri sendiri. Misalnya, lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, kembali bekerja, mengikuti kegiatan keagamaan dan sosial, atau melakukan hobi atau sekadar ‘me time’.
5. Membangun lingkungan positif yang mampu memberikan dukungan, misalkan: keluarga atau teman-teman yang dapat memahami, menerima, mendukung, dan menguatkan kita.
Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah kita harus menyadari bahwa apa yang terjadi pada kita bukanlah sebuah dinamika rumah tangga yang wajar. Krisis kepercayaan diri yang semakin membahayakan dan ketidaknyamanan terhadap diri sendiri akibat perkataan dan perbuatan pasangan bukanlah sebuah kondisi yang harus dipertahankan demi keutuhan rumah tangga. Ketika kita menyadari hal itu, barulah kita memikirkan beberapa solusi yang bisa dijalankan agar ‘racun’ tidak semakin melukai diri kita dan anak-anak kita.
KOMENTAR ANDA