KOMENTAR

SALAH satu hingar-bingar zaman modern yang berdampak besar terhadap pertumbuhan anak adalah tontonan. Di masa kini, gempuran tontonan tidak hanya datang dari layar kaca dan layar lebar tapi juga dari gawai. YouTube dan game online menjadi saluran penyedia tontonan yang begitu mudah dinikmati anak. Tinggal klik, tayangan apapun tersaji di hadapan mata.

Psikolog Anak dan Keluarga Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) Irma Gustiana Andriani menjelaskan bahwa seorang anak secara alamiah akan memproses dengan cepat berbagai stimulasi yang datang kepadanya. Terlebih lagi jika datang dalam bentuk visual. Ia akan melakukan mirroring; tanpa sadar meniru apa yang ia dengar dan lihat ke dalam kesehariannya. Karena itulah peran orangtua sangat penting untuk memilih dan memilah tontonan yang baik bagi anak.

Mengapa sangat penting? Karena filter informasi yang dimiliki anak masih sangat terbatas. Dengan lautan tontonan yang melimpah ruah di televisi maupun gawai, anak yang menonton tanpa ada panduan atau batasan, bukan tidak mungkin salah menonton tayangan yang akhirnya berdampak buruk bagi perkembangan emosional dan kejiwaan anak.

Anak semakin rentan terpengaruh tontonan manakala orangtua terlalu sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk mengedukasi anak tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk ditonton. Ditambah lagi, lingkungan yang tidak mau tahu tentang bahaya tontonan-misalnya saja nenek yang memanjakan cucunya atau pengasuh yang lebih asyik dengan smartphonenya dan tidak pernah absen menonton sinetron yang penuh adegan ‘dramatis’ alias lebay, meminjam istilah anak zaman now. Anak yang berada dalam kondisi tersebut akan menganggap biasa hal-hal yang kurang sesuai dengan usianya.

Informasi dan Konsekuensinya

Tentang program televisi masa kini, kita tidak bisa memungkiri bahwa mayoritas tayangan tidak memperdulikan pendidikan. Berbagai infotainment, talkshow, reality show, hingga sinetron yang hilir mudik di layar kaca pada siang, sore, dan prime time (mulai pukul tujuh malam) mungkin tidak memuat konten berbau kekerasan yang memicu agresivitas anak, tapi tetap saja tidak ada moral value yang dapat diserap anak.

Program informatif pun bisa menjadi tontonan yang mempengaruhi anak. Misalnya yang sedang gencar diberitakan stasiun televisi adalah bencana gempa dan tsunami di Donggala dan Palu. Orangtua, terlebih yang memiliki sanak keluarga di dua daerah tersebut, tentu ingin rutin memperbarui berita ter-update tentang situasi di sana. Namun jika anak ikut menonton tayangan berita tersebut, orangtua harus bijak memberi penjelasan yang dapat dicerna anak dan mendampingi anak selama di depan layar televisi. “Jangan sampai gambar terjangan air tsunami, jenazah bergelimpangan, rumah hancur luluh-lantak, juga anak-anak kecil menangis di tempat penampungan membuat anak mengalami secondary trauma,” tegas Psikolog Irma.

Dalam secondary trauma, meski tidak mengalami langsung, anak juga terkena dampak psikologis dari sebuah peristiwa. Trauma tersebut dapat menyebabkan anak mengalami kecemasan berlebih, takut untuk pergi ke sekolah, dan dalam kasus bencana alam, anak takut tsunami datang hingga ia tidak dapat bertemu lagi dengan ibunya.

Contoh lain adalah tayangan tentang dunia kepolisian. Di dalamnya ada adegan polisi mengejar penjahat, menangkap bahkan menembak penjahat. Hal ini juga harus dijelaskan baik-baik oleh orangtua, terutama tentang tindak kekerasan yang terjadi. Jangan sampai anak berpikir memukul atau menembak orang adalah sesuatu hal yang wajar dilakukan sehari-hari.

 

Darurat Gawai

Lain televisi, lain pula gawai. Saluran YouTube dan game online menjadi ‘sarang’ pemicu agresivitas. Seorang anak yang setiap hari bermain game online, menghayati proses permainan dan perannya, maka bukan tidak mungkin akan kesulitan membedakan antara dunia online dan realitas. Interaksi sosial dalam kehidupan nyata bisa jadi dianggap sama dengan apa yang ia mainkan. Misalnya, ia menganggap biasa saja memukul atau menendang temannya karena ia menyangka temannya akan kembali berdiri dan tidak merasa kesakitan seperti ‘teman-teman’nya di game online. Tanpa disadari, anak akan berpikir bahwa kekerasan adalah solusi terampuh dalam mengatasi berbagai masalah.

Hati-Hati Predisposisi

Meski demikian, jika perilaku anak sudah tergolong agresif dan membahayakan orang lain, bisa dikatakan bahwa ada predisposisi awal pada anak tersebut. Ada penyebab pemula mengapa anak cenderung menjadi kasar dan kerap berbuat kekerasan bahkan sadis. “Predisposisi awal bisa karena karakter orangtua yang juga kasar, temperamental, dan sulit mengendalikan emosi. Atau dalam banyak kasus, disebabkan oleh perceraian orangtua yang biasanya melibatkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),” ujar Konselor di Sekolah Islam Tugasku ini.

Dinamika negatif yang terjadi dalam keluarga amat mempengaruhi karakter anak di kemudian hari. Anak bisa melakukan mirroring terhadap tabiat orangtuanya atau justru melakukan tindakan kasar untuk ‘melawan’ atau ‘membela’ diri dari tindak-tanduk kasar yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Jika predisposisi sudah diketahui, orangtua harus lebih jeli memilihkan tontonan bagi anak agar sifat agresif itu dapat diminimalkan. Psikolog yang akrab disapa Mbak Ayank ini menegaskan bahwa orangtua harus memilah tontonan mana yang sesuai dengan pemahaman kognitif anak agar tidak terbentuk persepsi yang salah di otak anak.

Orangtua juga harus serius dan konsisten berusaha agar kondisi psikologis itu dapat membaik dari waktu ke waktu. Orangtua mengemban peran yang jauh dari kata egois. Karena itu, segala tindakan harus dipikir matang agar menjadi maslahat bagi anak-anak. Termasuk dalam menonton televisi, bukankah tidak sulit menonton tayangan yang tidak pantas disaksikan anak setelah anak tidur? Dengan pengasuhan dan pengawasan yang seksama, diharapkan anak dapat memahami bahwa apa yang dia percaya dan lakukan adalah sikap yang tidak dibenarkan dari segi agama maupun kemanusiaan.

Batasan dan Teladan Orangtua

Seorang anak dikatakan sudah mampu memfilter tontonannya pada usia di atas 11 tahun. Saat mereka mulai menapaki usia remaja (teen) dan nuraninya mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang ada di dunia maya dan mana yang hadir dalam realitas. Saat itu, dia sudah memiliki filter untuk dirinya sendiri.

Salah satu yang dapat mengasah nurani anak adalah kemampuan orangtua memilihkan tontonan untuk anak sejak kecil. Dengan terbiasa menonton tayangan yang sehat, anak akan memiliki perisai lebih kuat untuk membentengi dirinya dari sifat-sifat buruk yang dibawa sebuah tontonan. Itulah pentingnya peran orangtua dalam memperhatikan rating tontonan, termasuk film bioskop.

Jangan karena alasan supaya anak tidak ketinggalan saat membicarakan tren film terbaru, lalu orangtua ‘tega’ mengajak anak menonton film Hollywood yang sarat adegan kekerasan. Misalnya, film superhero Marvel yang penuh adegan perkelahian dan pembunuhan. Orangtua yang sadar rating biasanya memilih memperlihatkan thriller yang dirilis sebagai gambaran agar anak tetap tahu tentang isi film box office itu tanpa harus menonton keseluruhannya. Sebaliknya, tidak sedikit juga baby stroller memenuhi bioskop saat midnight show karena orangtua—dengan dalih mempererat bonding keluarga—menonton film tanpa memperhatikan rating.

Orangtua tidak boleh ketinggalan zaman dalam mendidik anak. Orangtua juga tidak boleh lelah mengenali anak karena setiap individu akan terus berubah seiring perkembangan usia, emosi, dan lingkungannya. “Ketika memberi tontonan pada anak, sadarlah ada konsekuensi di dalamnya. Harus ada pertimbangan yang matang. Jika dibebaskan menonton tayangan yang penuh adegan kekerasan, orangtua harus menerima konsekuensi bahwa anak mudah menjadi agresif,” tegas Psikolog Irma.

Ciri Tontonan Ramah Anak




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting