KOMENTAR

DAN waktu tidak pernah kembali. Perempuan dari surga itu kini sudah senja. Dan tiba-tiba Anda teringat padanya. Anda terkenang-kenang petuah baginda Nabi Muhammad saw: “Ibumu. Ibumu. Ibumu. Lalu, ayahmu.”

Ibu: dialah surga pertama.  Kala ia hanyut dalam mimpi lelahnya karena memikirkan Anda, anak kinasihnya, pandangi dalam-dalam perjuangan fisiknya melahirkan Anda ke dunia. Rasa sakitnya yang tak terperi demi Anda, si jabang bayi. Ia merintih, menahan pedihnya gejolak janin yang kelak mewujud menjadi putra-putrinya: Anda. 

Setelah itu, ia masih berjihad membesarkan Anda dalam buaian dan asuhan terbaik semampunya, dengan segenap energi yang dimiliknya, dengan sehabis-habis kemampuan yang dimilikinya. Dialah madrasah pertama hidup Anda seutuhnya.

Dialah yang menanamkan benih-benih kebaikan dari  jiwanya. Anda belajar sabar darinya. Kesetiaan. Ketulusan. Perhatian. Pengertian. Dan segala kebaikan yang kelak menyadarkan atau justru belum menyadarkan Anda. 

Dia, perempuan surga Anda, memang  tidak secerdas dan sepintar Anda. Dia juga barangkali belum pernah mencecap senarai ilmu yang kini Anda ketahui dan pahami. Bukan manusia sekolahan seperti Anda. Tapi, justru karena dialah, Anda bisa mengenyamnya; ijazah dan gelar bergengsi yang melejitkan kedudukan Anda. Bahkan, ilmu yang tidak Anda alami di bangku sekolah, justru saripatinya bisa Anda dapatkan padanya.; kebijaksanaan hidup yang bahkan kata pun tak mampu merangkainya. Karena dialah Anda akhirnya mengada. Dan Anda? Sudahkah Anda mengikuti jejak mulianya dalam meniti hidup Anda?

Alhamdulillah wassyukru lillah. Ia masih menghidu nafas dari-Nya. Namun, waktu tidak pernah kembali. Perempuan dari surga itu kini sudah senja. Dan tiba-tiba Anda teringat padanya. Anda terkenang-kenang petuah baginda Nabi Muhammad saw: “Ibumu. Ibumu. Ibumu. Lalu, ayahmu.” Ah, Anda ingin menzikir-zikir namanya di dalam wirid dan munajat yang barangkali tidak pernah rutin Anda panjatkan. 

Beruntunglah jika kesadaran spiritual itu yang sekarang membebat anda. Namun, bagaimana bila ia yang sayapnya selalu tersedia untuk menghangatkan jiwa Anda itu kini telah kembali ke rumah abadi-Nya. Airmata. Sepi. Sunyi.

Mendadak Anda ingin memiliki mesin waktu untuk memperbaiki keadaan tak elok bersama almarhumah dulu. Mendadak Anda berkhayal tentang ini-itu yang anda belum sempat tunaikan semasa hidupnya. Sayang, waktu tak bisa dibeli. Sayang, hidup mesti berlanjut. Dan semuanya kini tinggal sesak dan hati yang berlubang di sana-sini. Anda ingin menambalnya. Anda ingin menyempurnakan bagian-bagian yang boyak dalam fase hidup anda bersamanya. Anda ingin berbakti sekali lagi sebelum Anda sendiri kelak menghadap Ilahi.

Sungguh, tiada lain kecuali Anda melakukan segenap amal baik untuknya, untuk kebaikan Anda dan dirinya. Mulai dari mendawamkan doa untuknya, bersedekah atas namanya, menjalin silaturahim kepada saudari-saudarinya, hingga mengunjungi kawan-kawan baiknya yang Anda kenal. Bukankah itu memang yang disarankan Rasulullah saw ketika salah seorang sahabat bertanya perihal bakti apa yang bisa kita lakukan bila orangtua telah wafat? 

Begini bunyinya: ”Menshalatkan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, memenuhi janji keduanya setelah keduanya meninggal, menyambung silaturahmi yang terjalin berkat keberadaan keduanya...” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah). 

Percayalah, bila amal tersebut Anda tunaikan, lamat-lamat surga yang pernah hilang dari dekapan Anda itu akan ‘kembali’, tersenyum bungah dan bangga di alam barzakh hingga Hari Pembalasan kelak.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur