KOMENTAR

KARENA kita adalah perempuan, maka bertransformasi adalah sunnatullah. Dari remaja lalu mendewasa, menikah lalu menjadi istri, dan melahirkan lalu menjadi ibu. Ketika kita berusaha menjauhi bahkan menolak sunnatullah, kita akan sulit mendapatkan rida-Nya dalam bentuk kebahagiaan hidup.

Ada sebagian dari kita seolah terbenam dalam kegemilangan masa lajang sebagai perempuan modern. Karier kinclong dengan penghasilan belasan juta menjadi prestise tersendiri. Asyiknya traveling keliling Indonesia dan mancanegara, hangout sana-sini bareng komunitas penggiat hobi yang sama, juga menjadi volunteer di sebuah badan kemanusiaan dunia, adalah dunia yang sempurna bagi seorang perempuan lajang. Life is fun, fearless, and full of values. Tak heran jika urusan menemukan jodoh menjadi nomor kesekian.

Ketika akhirnya sebagian dari kita tadi menikah, seharusnya sudah disertai keyakinan bahwa kebahagiaan hidup juga bisa dirasakan dari jalan selain karier mentereng dan gaya hidup penuh tawa. Keputusan menikah harus dilandasi kesadaran bahwa ada fase lanjutan yang menuntut kedewasaan berpikir dan bertindak yang bernilai ibadah. Bukan sekadar romantisme kalimat i love you yang diucapkan setiap hari.

Karena kita perempuan, sunnatullah transformasi menjadi istri dan ibu adalah indah jika dijalani dengan segenap ketulusan. Bagi yang sulit move on, pastilah menjadi beban berat. Yang melahirkan keluhan dan penyesalan. Lalu membuahkan keinginan dahsyat untuk mengulang kegemilangan masa lajangnya.

Lantas dengan alasan perempuan harus tetap eksis walaupun sudah menikah dan punya anak, seorang muslimah memilih meninggalkan anak di rumah dengan para mbak. Ada asisten rumah tangga yang sigap membersihkan rumah dan memasak, juga baby sitter bersertifikat yang diambil dari yayasan ternama. Ia menjamin, kebutuhan anak semua terpenuhi. Ia memilih ‘memanjat’ lagi karier profesionalnya. Mumpung masih di usia produktif dan agar kebutuhan hidup bisa dipenuhi sesuai standar masa mudanya dulu. Branded life. Lagipula, menurutnya, quality time lebih penting dari banyaknya kuantitas waktu. Padahal, saat weekend, ia menuntut waktu santai sendirian dengan alasan melepas penat bekerja.

Aktualisasi diri boleh saja, selama tidak mengabaikan tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Bukan serta merta menuntut suami harus sejajar dengan kita, tanpa ada beda. Mengabdi untuk keutuhan rumah tangga dan kecemerlangan anak-anak bukanlah sebuah perbuatan hina yang membuat kita terlihat lebih rendah dari suami. Justru inilah ladang amal, yang jika dengannya suami ridha, maka kita akan lebih mudah melangkah ke surga-Nya.

Mari pada muslimah, kita mencintai fitrah kita untuk bertransformasi. Bukan sekadar transformasi status, tapi harus disertai perubahan mindset hidup ke arah yang lebih bijaksana. Karier yang sangat menantang sudah ada di depan mata: mendidik anak agar menjadi generasi saleh yang kuat membentengi diri dari kebobrokan duniawi. Adakah yang lebih penting dari itu?




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women