KOMENTAR

DISAINER muda Nina Nugroho memiliki kiat sendiri untuk bijak menyikapi gadget dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang fungsi gadget dan kesadaran untuk tidak takluk oleh gadget. Dengan bekal itulah, Nina membuat aturan tegas di rumah terkait penggunaan gadget oleh anak-anaknya.

Di tengah segudang aktivitas sebagai disainer dan founder Active Muslima Community di luar rumah, Nina selalu memantau perkembangan anak-anaknya. Terlebih di era teknologi informasi sekarang ini, Nina tak ingin anak-anaknya terjebak dalam phubbing. Ia dan suami kompak memberi contoh positif bagi anak-anak mereka sekaligus bijak mencari solusi agar gadget menjadi teman, bukan lawan.

F: Bagaimana peran gadget dalam kehidupan seorang Nina Nugroho dan keluarga?

NN: Gadget sangat berpengaruh dan sangat penting dalam keseharian. Contohnya, untuk berkomunikasi, untuk belajar, juga untuk entertainment. Tapi segala sesuatu pasti memiliki plus minus, ada sisi positif dan sisi negatifnya. Semua tergantung kemampuan kita memberi bekal landasan tentang batasan yang harus ditaati. Karena, mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa teknologi yang diakses melalui gadget sangat membantu kita, memudahkan, dan mempercepat segala sesuatu.

Cara untuk menjadi bijak gadget adalah dengan memperkenalkan dengan benar fungsi gadget yang utama (terutama untuk anak-anak). Bukan sebaliknya, demi mencegah anak menyentuh gadget, orangtua lantas melarang anak dengan cara memberitahu disfungsi gadget. Jika itu yang dilakukan, anak akan makin penasaran.

F: Pernahkah Nina mengalami phubbing saat kumpul dengan teman-teman? Bagaimana menyadarkan pelaku agar berhenti  menjadi phubber?

NN: Saya sering mengalami hal itu. Jika saya asyik ngobrol sementara teman yang saya ajak bicara sibuk dengan ponselnya, saya akan bertanya apakah ingin meneruskan ngobrol atau bolak-balik membaca ponsel. Jika phubbing masih berlanjut, saya akan lebih tegas. Saya minta maaf terlebih dulu kemudian mengatakan akan berbicara nanti saja jika ia sudah lebih fokus pada saya dibandingkan ponselnya.

F: Pernahkah mengalami masa anak kecanduan gadget dan bagaimana mengatasinya?

NN: Pernah, karena game. Saya kemudian mengarahkan waktunya. Contoh, saat hari sekolah cukup satu jam, sedangkan di hari libur (Sabtu) waktunya diperpanjang. Minggu adalah hari keluarga. Saat makan bersama, di kendaraan yang gelap, saat ada tamu berkunjung, saat di ruang tertutup (sendirian), tidak diperbolehkan. Menurut saya, jika dilarang keras, mereka akan ngumpet-ngumpet main di belakang.

F: Seperti apa cara Nina memberi batasan bagi anak-anak untuk penggunaan gadget?

NN: Membatasi gadget dengan mengaktifkan mode untuk anak. Jika mereka ingin mengerjakan tugas sekolah, biasakan menggunakan laptop yang terletak di ruang kerja. Untuk entertainment, disambungkan ke televisi yang ada di ruang keluarga. Pemakaian gadget di ruang pribadi seperti di kamar sangat dibatasi.

Untuk keperluan komunikasi, kita (orangtua) bisa melakukan pendekatan terhadap anggota keluarga agar dapat mengetahui password masing-masing. Waktu pemakaian juga dibatasi kecuali ada deadline tugas. Itu pun harus seizin kita.

F: Menurut Nina, apa yang harus dilakukan orangtua agar anak bisa bijak bergadget dan jauh dari phubbing?

NN: Orangtua menumbuhkan kesadaran dan memberi anak tanggung jawab. Bagi ibu bekerja, beritahu do & don’t kepada pengasuh yang menjaga anak untuk mengetahui apa yang dilakukan anak. Sering-seringlah berkomunikasi untuk mengingatkan. Misalnya dalam mengerjakan tugas harian. Jika tugas sudah diselesaikan, boleh bermain. Jika belum selesai, berarti terlalu banyak bermain.

Untuk pemeriksaan ini, harus ada tahap pemeriksaan ‘berlapis’. Melalui komunikasi langsung dengan anak, melalui support system di rumah, melalui tugas, dan terakhir melalui hasil tugas. Akan terlihat apakah anak sudah masuk tahap rentan gadget atau belum.

F: Bagaimana menjaga agar peraturan tentang gadget yang diterapkan tetap berlaku meski Nina tidak sedang bersama anak-anak?

NN: Di hari libur, saya lebih membebaskan. Namun demikian, peraturannya tetap sama meskipun ada kakek dan nenek atau tidak ada. Hukuman jika tidak bisa membagi waktu dengan baik akan terlihat dari hasil tugas di sekolah maupun tempat les. Jadi, yang menegur bukan hanya saya selaku orangtua tapi juga guru. Ini artinya ada sanksi sosial yang dirasakan anak saat ia malu ditegur di hadapan teman-temannya.

Dari saya dan suami, hukumannya adalah gadget diambil. Atau, saya membiarkan anak-anak memilih hukuman mereka sendiri karena kebablasan menggunakan gadget. Alhamdulillah sampai saat ini anak-anak menerima peraturan yang dibuat dan mematuhinya.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women