PHUBBING dapat diartikan sebagai perilaku tak acuh atau tidak mengindahkan orang lain, sibuk dengan gadget, bahkan kecanduan gadget.
Istilah Phubbing (akronim dari phone dan snubbing) mencuat seiring booming ponsel pintar. Phubbing sebenarnya merupakan ejekan untuk mereka yang cenderung asyik dengan gawai ketimbang berinteraksi dengan orang-orang di sekitar. Pelaku phubbing disebut Phubbers, yakni orang yang terus-menerus cek sosial media, email, atau chatting dengan gadget.
Sangat disayangkan, perilaku Phubbing saat ini tidak hanya dilakukan orang dewasa, tetapi sudah menjadi habit sejak usia balita. Kepada Farah, Psikolog Perkawinan dan Keluarga Universitas Indonesia Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S. yang juga penulis buku Pelangi di Akhir Badai (2009), Sebelum Janji Terucap (2011) dan Kompromi Dua Hati, Bersama Pasangan Menikmati Perkawinan Bahagia (2014) sekaligus Pimpinan Sekolah Mandiga (sekolah bagi individu dengan spektrum Autisme) menjelaskan tentang fenomena sosial yang kian meresahkan ini.
F: Seperti apa Ibu melihat fenomena phubbing di Indonesia?
ASG: Berdasarkan data statistik dan beberapa artikel yang pernah saya baca, jika dibandingkan dengan negara lain, di Indonesia memang lebih banyak orang yang senang bermain gadget terutama smartphone. Fenomena phubbing sangat terlihat ketika kita jalan-jalan ke mal. Misalnya, ketika keluarga sedang makan bersama, tidak sedikit ayah, ibu, dan anak-anak sibuk dengan gadget masing-masing. Meskipun mereka duduk dalam satu meja, tidak ada interaksi sesama mereka yang terjadi.
F: Apa sesungguhnya dampak phubbing bagi keutuhan keluarga?
Fenomena ini sudah sangat mengkhawatirkan. Karena penggunaan gadget yang berlebihan mengubah banyak sekali cara berkomunikasi tatap muka yang sebenarnya menjadi sangat penting dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
Mengapa tatap muka itu sangat penting? Karena bertatap muka dapat membuat kita lebih aware terhadap apa yang disampaikan dan perasaan yang terkandung di balik itu, kemudian dapat menjalin keakraban jika dilakukan dengan benar. Begitupun dalam berkomunikasi dengan anak, tatap muka adalah hal penting. Orangtua menjadi tokoh utama yang mengajarkan anak tentang attachment (cinta, kasih sayang), tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku, atau tentang bagaimana cara anak menangani permasalahan yang sedang dihadapinya.
Fenomena yang kerap terjadi, yaitu banyak sekali momen komunikasi tatap muka itu digantikan oleh smartphone. Yang tadinya lebih banyak bertatap muka atau intensitas kontak mata lebih panjang, sekarang komunikasi lebih banyak dilakukan via gadget, Whatsapp contohnya. Bahkan bisa juga mereka sibuk di media sosial atau berselancar dengan gadget masing-masing tanpa melakukan interaksi dengan orang di sekitar.
F: Apa saja yang membahayakan dari phubbing?
ASG: Banyak psikolog sepakat bahwa saat ini banyak sekali orang yang sudah mengalami kecanduan gadget. Mereka merasa panik atau gelisah jika tidak membawa handphone, gelisah jika batere habis, dan hal pertama yang mereka cari ketika bangun tidur adalah gadget. Bahkan ketika sedang dalam antrean atau di dalam angkutan umum, semua mata tertunduk ke arah ponsel. Di sinilah gadget berperan menjadikan kita sebagai makhluk yang individualistis yang tidak peka atau peduli dengan keadaan di sekitar kita.
Dalam keluarga, berkomunikasi lewat gadget bisa membuat kemampuan anak menyampaikan pesan tidak terlatih, kadang hanya sebatas beberapa kata, itupun dengan tulisan yang disingkat. Empati juga tidak terlatih karena kita tidak bisa melihat ekspresi dari lawan bicara. Selain menjadi hanya fokus kepada diri sendiri, keterampilan sosialpun bisa terganggu. Kita menjadi individu yang tidak sabar, bahkan kemungkinan miscommunication sangat besar terjadi karena bahasa non-verbalnya tidak ada dan intonasinya tidak terbaca, meskipun sekarang terbantu dengan emoticon.
Yang jauh lebih mengkhawatirkan lagi sebenarnya adalah isi dari smartphone yang sedang kita lihat tersebut. Meskipun sudah diblokir, iklan atau spam yang tidak pantas dengan mudahnya terlihat atau terakses anak-anak tanpa sengaja. Selain kontak emosional jadi terbatas, isi materi dari smartphone sangat mengganggu dan bahkan merugikan, terutama bagi anak-anak.
F: Apakah ponsel pintar juga bisa menjadi penyebab perceraian?
ASG: Bercerai hanya karena gadget tentu tidak, karena banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian. Artinya, gadget hanya menjadi media secara tidak langsung namun bisa sangat berperan, misalnya dalam perselingkuhan. Berawal dari reuni, berlanjut saling curhat lewat gadget, hingga kemudian mengenang memori masa lalu. Lantas pasangan akan menjadi sangat posesif terhadap gadget-nya, kemana-mana selalu dibawa, hingga dipasangi password. Hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga. Di sinilah gadget berperan penting sebagai sarana perselingkuhan bagi pasangan yang memang sudah bermasalah dalam pernikahan.
F: Apakah kebiasaan phubbing dapat dihentikan?
ASG: Di era teknologi sekarang kita memang tidak bisa lepas dari penggunaan gadget. Hampir semua pekerjaan atau aktivitas selalu melibatkan gadget, bahkan untuk mengerjakan tugas sekolah. Saya tidak bilang bahwa gadget harus dihilangkan sama sekali dari kehidupan. Karena bagaimanapun kita sangat terbantu dengan adanya gadget sekarang ini. Cara yang paling efektif adalah memberikan kegiatan lain yang menarik kepada anak-anak sehingga obsesi mereka terhadap gadget bisa dikurangi.
F: Tidak sedikit keluarga mengalami kesulitan dalam pembatasan gadget…
ASG: Saya memahami bahwa membuat aturan pembatasan gadget di rumah tidaklah mudah, terutama bagi orangtua yang bekerja di luar rumah dengan waktu nine to five. Sementara anak-anak di rumah dititip dengan pengasuh atau neneknya, yang kadang lebih banyak ‘tidak tega’. Dibutuhkan kerjasama dari semua pihak di sekitar anak, terutama orangtua, pengasuh, nenek, kakek, paman, atau tante, yang harus bekerja ekstra keras dan konsisten dalam menerapkan pembatasan waktu juga memberikan alternatif kegiatan pengganti.
Anak remaja yang datang dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, atau yang memiliki masalah dalam pergaulan, apabila mereka sering berselancar di dunia maya atau media sosial, mereka akan lebih rentan terkena dampak ‘ketidakbahagiaan’. Mereka semakin merasa left out dan semakin minder, lantas menarik diri dari dunia sosial karena mereka membandingkan antara kehidupan nyata dengan dunia maya. Belum lagi cyberbullying yang dengan mudah dilakukan siapa saja. Di dunia maya, identitas bisa sangat disamarkan, bahkan tidak sedikit kejahatan berawal dari perkenalan di dunia maya.
KOMENTAR ANDA