NEGERI Malaka terus berbenah. Tak mau terlena puas. Kota pelabuhan yang memiliki arti begitu penting dalam sejarah Nusantara ini di tahun 2019 memasang target kunjungan wisata sebanyak 20 juta wisatawan. Dari angka itu diharapkan 30 persen di antaranya adalah wisatawan mancanegara.
Malaka modern telah mencatat sejumlah prestasi. UNESCO memasukkan negeri ini ke dalam daftar The World Heritage pada 2008. Di tahun 2015 Malaka diakui sebagai negeri yang memiliki tingkat litertasi paling tinggi di Malaysia, yakni 99,5 persen.
Setahun kemudian, Malaka dinobatkan sebagai tempat paling aman untuk ditinggali di seluruh negeri.
Di tahun 2017, tingkat kejahatan di Malaka diakui turun secara signifikan sebesar 15,5 persen. Di tahun 2018 Malaka dinobatkan sebagai negara bagian di Malaysia yang memiliki tingkat pengangguran paling rendah, yakni 1 persen dari jumlah penduduk usia produktif.
***
Kekayaan catatan sejarah tampaknya masih menjadi konten utama wisata di Malaka yang kini dipimpin Ketua Menteri YB Adly bin Zahari ini. Sejak beberapa tahun lalu sudah dimulai upaya untuk mengemas wisata sejarah dengan wisata kesehatan.
“Kami berharap di tahun 2019 ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Malaka mencapai 20 juta orang. Sekitar 30 persen di antaranya adalah wisatawan dari mancanegara,” ujar Pengurus Pemasaran Pariwisata Malaka, Puan Wan Mariati binti wan Sohak, ketika menerima delegasi wartawan Indonesia yang sedang berkunjung, Rabu (13/2).
Penulis dan rombongan wartawan Indonesia berkunjung ke Malaka dalam kegiatan Sahabat Media Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia yang disingkat Iswami. Organisasi yang didirikan pada 2010 ini bertujuan untuk mengeratkan persahabatan dan persaudaraan wartawan dan masyarakat kedua negara.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Ketua Iswami dari Indonesia, Asro Kamal Rokan.
Dalam presentasinya di kediaman Ketua Menteri Malaka, Puan Wan Mariati menjelaskan ada tiga negara penyumbang wisatawan asing terbesar ke Negeri Malaka. Ketiganya adalah Republik Rakyat China, Singapura dan Indonesia.
Wisatawan dari China, sebutnya, menyukai aspek sejarah Malaka. Sementara wisatawan dari Indonesia tidak sedikit yang datang untuk urusan pemeriksaan kesehatan dan atau pengobatan. Adapun wisatawan dari Singapura biasanya berkunjung untuk menikmati kuliner dan belanja.
***
Malaka didirikan pada akhir paruh kedua abad ke-14 oleh Raja Parameswara yang melarikan diri dari Sriwijaya karena kedatangan pasukan Majapahit. Menurut sejumlah catatan, Malaka mulai dibangun sebagai sebuah kota dan negeri pelabuhan antara 1380 hingga 1403.
Parameswara yang awalnya beragama Hindu di tahun 1414 memeluk agama Islam yang memang banyak dianut oleh masyarakat setempat, dan sejak itu pula Islam menjadi agama resmi di Malaka.
Tidak butuh waktu lama, karena posisinya yang amat strategis, Malaka menjadi pusat perkembangan agama Islam, terutama di era Sultan Mansyur Syah yang berkuasa antara 1458-1477.
Kejayaan Malaka terus berlangsung hingga pemerintahan Sultan Mahmud Syah yang mulai berkuasa pada 1488.
Di tahun 1511, pasukan Portugis yang dipimpin Alfonso d’Albrquerque tiba di Malaka dan menaklukkan negeri itu.
Setahun setelah menduduki Malaka, pasukan Portugis menaklukkan negeri penting lain di Nusantara, yakni Ternate di Kepulauan Maluku. Di tahun 1521 giliran Samudera Pasai di utara Pulau Sumatera yang ditaklukkan Portugis menyusul kegagalan koalisi pasukan Demak, Cirebon, Banten dan Aceh mengusir Portugis dari Malaka.
Menurut catatan sejarah, serangan di tahun 1521 itu bukan upaya pertama negeri-negeri Nusantara untuk menghalau Portugis. Di tahun 1513, hanya dua tahun setelah Portugis berkuasa, Raja Demak Pati Unus mengirimkan ekspedisi militer ke Malaka. Namun karena persiapan yang kurang matang, upaya ini kandas.
Kegagalan dalam serangan di tahun 1513 ini tidak membuat Pati Unus gentar. Dia justru semakin bersemangat mengalahkan Portugis di Malaka. Kali ini ia mempersiapkan sebaik mungkin serangan kedua dan mengajak negeri-negeri lain membangun pasukan multinasional untuk ukuran pada masa itu.
KOMENTAR ANDA