YAUMUL hisab atau hari perhitungan amal manusia pasti akan dihadapi oleh setiap muslim. Salah satu yang akan dihisab adalah umur manusia yang erat kaitannya dengan waktu.
Dipergunakan untuk apa sajakah waktu muda seorang muslim? Apa saja yang dikerjakan dalam rangka menghabiskan umurnya di dunia? Dua pertanyaan itu kemudian akan dijawab dengan ‘rekaman’ semua amal seorang muslim selama di dunia. Tidak ada satu perbuatan pun yang tidak dicatat oleh dua malaikat pencatat amal.
Marilah merenung sejenak, berapa banyak waktu yang kita pergunakan untuk beribadah. Shalat lima waktu, shalat sunah, dan membaca Al-Qur’an. Lalu bandingkan dengan waktu yang kita pergunakan untuk urusan media sosial: membaca wall ratusan teman, stalking, melike, mengomentari, membuat status, hingga memposting foto dan captionnya. Mungkin banyak dari kita yang kaget betapa jauh perbedaan jumlah waktu antara kedua kegiatan itu.
Ketika kita membuka layar ponsel lebih sering dari membuka lembaran ayat-ayat Allah. Ketika kita mengupload Instagram feed lebih lama daripada shalat wajib empat rakaat. Ketika ponsel digunakan untuk bersosialisasi dan berbisnis namun kerap lupa menelepon ayah dan ibu. Na’udzubillah.
Dalam sebuah kajian tentang perhitungan amal manusia, Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA mengatakan bahwa seorang menusia yang membuka akun media sosial berarti telah membuka satu pintu hisab baru untuknya. Yang tadinya tidak ada perhitungan soal itu, sekarang menjadi ada.
Kita tidak sadar bahwa waktu yang dihabiskan untuk mengecek laman media sosial akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Apa saja yang kita lihat, apa saja yang kita baca, apa saja yang kita unggah, dan apa saja yang kita komentari, akan masuk ke dalam catatan amal perbuatan kita.
Lantas, apakah itu berarti seorang muslim tidak boleh memiliki akun media sosial?
Menurut Ustadz Firanda, kalau bisa tidak punya akun, lebih baik. Meski demikian, bukan berarti tidak boleh. Artinya, jangan digunakan kecuali untuk kebaikan. Ustadz Firanda pun mengakui ia memiliki akun Facebook karena harus menulis materi dakwah di sana.
Apakah kita mampu memanfaatkan media sosial menjadi ladang dakwah dan amal baik? Dapatkah kita memberi unggahan yang menginspirasi, mendidik, dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan? Atau, kita memilih untuk tetap menulis dengan nyinyir dan julid melihat keberhasilan orang lain?
Kitalah yang harus setia mengingatkan diri sendiri manakala kita hanya menjadikan media sosial sebagai ajang refreshing atau ajang menyambung tali silaturahim (yang berujung pada ghibah tentang si A, si B, dll). Terlebih jika semua kemeriahan media sosial itu menyita waktu kita, marilah kita takut akan hisab di akhirat kelak.
KOMENTAR ANDA