KOMENTAR

"MAAF, kalau boleh tahu, Ibu sedang menunggu siapa? Ada yang bisa saya bantu?"

Ia hanya pria-lajang-profesional yang kebetulan klise sekali: menyukai pantai dan senja. Biasanya ia tidak peduli dengan orang-orang, dengan manusia yang entah tetirah entah jengah dengan kesibukan sehari-harinya. Tapi, siang itu di tepi Laut Merah, beberapa jam sebelum senja mrucut dari petala langit, matanya memerhatikan perempuan tua tengah duduk di bangku panjang dengan tatapan nanar ke laut.

Ia menemukan air muka harap-harap cemas pada mata dan cara duduknya. Ia mendapati seorang ibu lanjut usia yang seperti menunggu entah siapa, entah apa. "Ibu ini bukan pengemis. Jelas. Pakaian dan, ah, ada cincin emas dan sandal LV pada tubuhnya," batinnya.

Ia melihat arloji di tangannya menunjuk pada pukul dua siang. Sedang terik-teriknya cuaca. Ia kian penasaran. Ia lalu turun dari sedan vintage VW-nya. "Maaf, kalau boleh tahu,  Ibu sedang menunggu siapa? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, memberanikan diri.

"Ibu sedang menanti putra ibu, Nak. Katanya pergi sebentar dan akan kembali sebentar lagi," jawabnya, tidak menoleh sedikit pun kepadanya.

"Ya Rabb, rupanya ibu tua ini buta…" bisik batinnya.

 "Oke, kalau begitu, Bu. Saya permisi dulu..."

 "Ya, Nak. Terima kasih."

 

Ia kemudian menjauh sepelemparan galah dari perempuan renta itu. Ia kembali ke mobilnya: membaca buku, mengecek laptop, menjawab pesan-pesan surel, dan mendengarkan suara bening penyanyi legendaris Ummi Kultsum dari sebuah stasiun radio Mesir. Waktu berlalu dan nampak jingga mulai menoreh malu-malu di langit. Ia kembali menelisik suasana tepi pantai. Dan ia terkejut, ibu tua itu belum juga beranjak dari bangku yang tadi. Ia merasa iba melihatnya. Seperti ada magnet yang menariknya untuk menyapa ibu itu kembali.

"Masih di sini, Bu? Putranya belum juga datang?"

"Ya, padahal janjinya sebentar..."

Ia lalu melihat selembar surat lecek, berkerut-kerut, di samping ibu tersebut. Seperti surat yang terlepas dari remasan tangan manusia.

"Ini ada surat. Punya ibu? Boleh saya baca, Bu?"

"Ya. Silakan..."

"Siapa saja yang menemukan perempuan ini, harap membawanya ke panti jompo. Terima kasih."

Ia syok membaca pesan singkat itu di senja yang sebentar lagi redup. Ia berkali-kali istighfar. Berjenak-jenak termangu. Seperti ada yang boyak tiba-tiba di palung jiwanya. Ia marah. Ia sedih. Dan ia tidak bisa meluapkannya pada apa dan siapa. Ia mendadak menjadi lelaki Arab sepaling cengeng: malu menjadi manusia, malu menjadi umat Nabi Muhammad saw.

Apa yang terjadi kemudian pada perempuan senja itu? Apa yang dilakukan pria muda pekerja Arab itu selanjutnya? Dalam kisah yang saya sadur secara bebas dari kitab Qishoh Birrul Walidain wa 'Uququhuma wa Shilaturahim yang ditulis Mansur Abdul Hakim tidak ada keterangan lebih lanjut dan detail. Sumbernya pun anonim. Penandanya cuma satu: kisah di atas masuk dalam bab cerita-cerita kekinian seputar berbakti dan durhaka kepada kedua orangtua.

Cerita tersebut kian menahbiskan betapa generasi muda sekarang ini memang kerapkali abai terhadap orangtua sendiri. Terbiasa hidup praktis dan pragmatis dengan sejumlah perangkat teknologi yang dimilikinya berpengaruh besar dalam berelasi dengan manusia lainnya, hatta (hingga) dengan orangtua sendiri. Bejibun kisah terabaikan hak-hak orangtua secara psikis dan spiritual di zaman kiwari ini. Bukan tidak mungkin, selain kisah tersebut banyak sekali kasusnya, dan boleh jadi lebih parah dan mengenaskan.

Jika Anda berkarir dan sukses dan berlimpah materi, orangtua Anda sejatinya kurang begitu memerhatikannya. Ia memang bersyukur atas pencapaian Anda tersebut. Itu tidak bisa dipungkiri. Tapi, orangtua Anda sesungguhnya berharap agar Anda tidak bergeser dalam menghormati, memuliakan, dan menyayanginya. Orangtua ingin agar Anda tidak menomorduakan mereka dalam mengurus dan menyayangi keduanya. Apalagi hingga menelantarkan mereka. Apalagi bermaksud mengganti posisi keduanya dalam senarai fasilitas material yang Anda gelontorkan. Itu semua kosong bagi mereka. Itu akan membuat mereka merasa gagal menjadi orangtua. Na'udzubillah.

Bila Anda pintar dan mafhum agama dan menjadi penceramah atau konsultan di mana-mana, orangtua Anda kemungkinan besar berbunga mendengarnya. Tapi, itu semua akan semu dan fatamorgana bila keduanya mendapati Anda tidak memerhatikan hak-hak mereka: menomorduakan kebutuhan dan kepentingan mereka. Hati kecil orangtua boleh jadi meratap perih: "Percuma saja berkoar-koar soal firman Ilahi dan hadis Nabi seputar berbakti pada orangtua di khalayak ramai bila pada orangtua sendiri begini." Pada momen itulah, keduanya merasa gagal menjadi orangtua.

Dan bila Anda tidak meroket dalam karir dan studi, dan merasa tidak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa, tapi Anda berjihad dengan segala daya untuk senantiasa membuat kedua orangtua terperhatikan dan tersenyum, maka di sanalah keduanya merasa beruntung pernah melahirkan dan mendidik Anda. Mereka akan menutup mata dengan kalbu yang jembar dan senyum terindah di hadapan-Nya.

Tentu saja, semua akan lebih baik bila Anda berhasil dalam karir dengan kesibukan luar biasa, dengan kepadatan aktivitas yang hectic na'udzubillah, namun Anda masih sempat mengalokasikan waktu, jiwa dan kasih demi memerhatikan ayah dan ibu Anda, maka Anda tengah menunaikan titah Ilahi: "Dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu."(QS. An-Nisa:36) Wallahua'lam bishshawab.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur