KOMENTAR

SEBAGAI disainer grafis, komputer adalah bagian dari keseharian Michelle. Namun, ia tak pernah mengira jika mouse bisa berpotensi bahaya.

Pekerjaannya sebagai disainer di Omada Health yang juga sebagai arsitek di sebuah perusahaan, mengharuskannya bekerja berjam-jam lamanya di depan komputer. 10 hingga 15 jam setiap harinya. Ia pun mulai merasakan kram pada tangannya. 

Ini semua bermula di suatu musim panas. Michelle tengah dikejar deadline buku seorang teman. Ia merasakan kram pada tangannya. Sebelumnya, ia memang kerap dilanda kram saat ia merasakan kelelahan. Namun, kram kali itu berbeda. Terasa panjang dan mulai berkedut. Michelle tetap melanjutkan pekerjaannya dengan jari-jari tangan yang terasa sangat menyakitkan.

Ketika rasa kram mereda, ia malah merasakan jarinya seperti kehilangan kekuatan. Ia mulai tak mampu mengangkat tutup gelas sama sekali. Michelle pun segera memeriksakan diri ke dokter. Melalui serangkaian pemeriksaan, dokter mengatakan Michelle menderita cedera RSI atau Repetitive Strain Injury. Suatu keadaan cedera pada persendian. Dokter berkata, semua dipicu oleh aktivitas yang tak henti dan berlangsung terus-menerus dalam waktu lama, sehingga terjadi ketegangan pada otot atau saraf.

Setelah itu, ia tak melakukan apa-apa. Michelle yang terbiasa bekerja keras, merasakan itu sangat menyiksanya. Terutama melihat pekerjaannya terbengkalai. Yang menyakitkan ketika dokter berkata jari-jarinya kemungkinan akan sulit disembuhkan.

Michelle tak pernah menduga, pekerjaannya yang setiap saat bersentuhan dengan komputer dan mouse, bisa membuatnya menderita RSI. Setiap hari, frekuensi pergerakan tangan dengan salah satu hardware komputer itu terus bertambah seiring dengan banyaknya proyek yang ia raih. Pengaruhnya memang tak terasa dalam hitungan menit. Namun, untuk orang yang seharian harus menekan tuts dan menggerakkan mouse, Repetitive Strain Injury menjadi ancaman serius.

Menurut dokter, seseorang dapat terkena Repetitive Strain Injury karena saat menekan tuts dan mouse, bahu dan lengan tangan bagian atas cenderung tertahan. Keadaan seperti itu dapat menghambat sirkulasi darah ke lengan bagian bawah. Ditambah lagi dengan sikap duduk yang salah dan penempatan ruang kerja yang membuat orang tidak nyaman. Keadaan ini membuat sakit pada otot-otot tendon, saraf-saraf di sekitar tangan, pergelangan tangan, jari, bahkan pundak dan leher sebagai akumulasi dari pekerjaan dalam kurun waktu yang lama.

Repetitive Strain Injury adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan berbagai macam cedera pada otot tendon dan saraf. Cedera ini biasanya disebabkan oleh aktivitas yang membutuhkan gerakan yang berulang-ulang. Salah satunya adalah mengetik atau menekan dan menggerakkan mouse. Gejala Repetitive Strain Injury dapat muncul di berbagai tempat dari pangkal lengan hingga ujung tangan. Michelle menyesal, ia tak pernah menyadari ini sebelumnya.

Keluarganya setiap saat menghiburnya. Suatu hari, ayahnya membuatkan suatu alat yang bisa membantunya bekerja. Alat itu terbuat dari Manfrotto 492 table tripod, satu buah Apple Magic Trackpad, dan sebuah tripod adapter plate. Ayahnya merancang itu semua. Michelle bisa menggunakan alat itu tanpa jari-jarinya, yaitu dengan hidungnya!

 

Tentu itu adalah hal yang aneh. Michelle belum ingin mencobanya. Namun, suatu malam ada dorongan di hatinya untuk mencoba. Ia, mengutak-atik touchpad eksternal buatan ayahnya yang tergeletak di meja. Kata-kata ayahnya terus-terusan terngiang. Michelle pun mulai mencoba. `Klik`. Ia menggesekkannya juga akhirnya, dengan hidungnya!

Michelle terkejut. Alat itu bekerja!

Ia pun lanjut membuka membuka Photoshop. Rasanya bertahun-tahun ia tak menyentuh lagi perangkat kerjanya itu. Ia menyentuh trackpad dan menggesekkannya dengan hidung ke kiri dan kanan, atas dan bawah. Gerakan itu memang terasa aneh, tapi ajaib alat itu bisa bekerja dengan baik. Kemudian hari, alat-alat rancangan ayahnya itulah yang membantunya mendisain menggunakan bibir dan hidung.

Setiap malam Michelle terus berlatih. Ayahnya bilang, ia tak harus bergantung lagi dengan jari-jarinya. Bila jari jarinya begitu lihai menggoreskan ilustrasi, maka hidung dan bibir tentu bisa, kata ayahnya. Berkarya dengan cara apa pun pasti bisa.

Meskipun tekadnya bulat, bukan berarti semua tanpa kendala. Michelle kerap menangis malam-malam karena dirasakannya sulit membuat ilustrasi tanpa jari-jari tangan. Suatu malam, Michelle terdorong untuk melukis. Menjelang pagi ia melihat sesuatu di depannya. Sebuah lukisan yang bagus, yang membuat dia sendiri tercengang. Ia tak percaya hidung dan bibirnya bisa menggantikan jari-jarinya.

Semua telah berlalu dan Michelle kini lebih yakin dengan apa yang ia kerjakan. Mendisain tanpa tangan bisa dilakukan selagi punya tekad yang kuat.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women