KOMENTAR

DI gurun terluas ketiga di dunia, di mana curah hujan hanya 3 cm pertahun, nampak perempuan-perempuan Muslim nan tegar menjalani kehidupannya dengan berpindah-pindah di sepanjang Sahara. Bagi mereka hidup adalah tentang mengembala ternak, menambang garam dan mendidik anak-anak. Merekalah, perempuan-perempuan Tuareg.

Tuareg berasal dari bahasa Arab, artinya "ditelantarkan oleh para dewa". Bangsa Tuareg sendiri lebih suka disebut "Imashaghen" atau "Imohag" yang berarti orang merdeka.

Kaum Tuareg mulai migrasi ke arah barat daya, saat bangsa Arab mulai menaklukkan daerah Maghreb (barat laut Afrika) pada abad ke-7 Masehi. Hingga di abad ke-11, kaum Tuareg tiba di Niger, dan dicatat mendirikan kota Timbuktu. Kedatangan Tuareg menciptakan ketegangan dengan penduduk pribumi wilayah itu, yang akhirnya lari ke selatan.

Orang-orang Tuareg mulai memeluk Islam pada abad ke-14. Mereka berdagang di jalur trans-Sahara, dimana emas, garam dan budak belian melewati kota-kota mereka menuju pesisir Afrika Utara. Hasil perdagangan ini yang akhirnya tiba di Eropa dan Timur Tengah dan menjadikan mereka amat kaya. Namun begitu, binatang peliharaan adalah harta tak ternilai bagi suku Tuareg di tengah Gurun Sahara. Hewan-hewan adalah segalanya.

“Kami minum susu mereka, makan daging mereka, menggunakan kulit mereka, menukar mereka. Jika hewan peliharaan mati, seorang Tuareg mati," begitu ujar mereka.

Laki-laki di suku Tuareg dikenal dengan sebutan 'orang biru dari Sahara' atau manusia biru, lantaran pewarna yang dibalurkan ke wajah mereka, cadar, dan surban kebanyakan berwarna indigo alias biru. Dalam budaya Tuareg, memang bukan kaum Hawa yang memakai cadar, tetapi kaum Adam.  Bagi mereka, “Perempuan adalah keindahan. Kami ingin melihat wajah mereka."

Kaum perempuan sangat dihormati oleh laki-laki dan menantu laki-laki  mereka. Ada satu lagi tradisi yang unik dari Tuareg. Seorang laki-laki dianggap tidak sopan jika makan di depan perempuan yang bukan istrinya.

Pemuda Tuareg rata-rata sangat romantis pada para perempuan Tuareg. Kemungkinan karena mereka sangat memuja perempuan sehingga sikap-sikap romantisme terlihat sekali dalam kehidupan mereka yang keras. Pun sebaliknya, perempuan Tuareg nan lembut dan manis semakin menunjukkan geliat romantisme mereka.

Laki-laki Tuareg pandai membuat puisi. Mereka akan membuat puisi berjam-jam bagi perempuan yang mereka sukai. Begitu juga dengan para perempuannya, mereka akan membuat puisi untuk memuja pemuda Tuareg. Seni merangkai kata inilah yang melembutkan budaya mereka.

Sebagian perempuan suku Tuareg memilih menggunakan hijab meskipun tetap tanpa cadar sebagaimana kaum laki-lakinya. Namun, penggunaan hijab ini konon lebih untuk keselamatan mereka dan juga sebagai fashion. Sampai saat ini kaum tuareg tetap mempertahankan budayanya.

Para Antropolog Barat menilai mereka sebagai budaya primitif dengan nilai-nilainya yang tidak sesuai dengan zaman modern. Sementara bagi orang Tuareg budaya lain dinilai oleh mereka sebagai budaya primitif.

Mereka sangat bangga bisa bertahan dengan budaya mereka selama lebih dari 1.000 tahun. Mereka percaya bahwa budaya mereka adalah lebih baik.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women