KOMENTAR

PENDIDIKAN dan status sosial ekonomi yang tinggi tidak menjamin seseorang bebas dari pengaruh radikalisme dan ekstremisme.

Beberapa peristiwa justru memperlihatkan bahwa pelaku terorisme ternyata memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga yang kaya.

Misalnya dalam peristiwa pengeboman di Srilanka tanggal 21 April lalu. Kesembilan pelaku, salah seorang di antaranya adalah wanita, diketahui memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga kaya.

Sebanyak 359 orang tewas dan lebih dari 500 lainnya luka dalam peristiwa pengeboman yang terjadi di sejumlah titik secara hampir bersamaan itu.  

“Banyak sekali faktor yang bisa mengubah persepsi seseorang sehingga menjadi fundamentalis dan ektremis. Tidak hanya urusan ekonomi,” ujar Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, dalam diskusi bertema “Silaturahmi Ramadan” yang digelar di Kantor Wahid Foundation di Jalan Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta, Kamis petang (9/5).

“Kelompok pengebom di Srilanka itu buktinya, mereka anak konglomerat,” sambung salah seorang putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Yenny menambahkan, dalam banyak kasus ketidakmampuan memahami materi-materi yang menggunakan wacana agama malah membuat seseorang menjadi membenci penganut agama lain.

“Ini soal lemahnya literasi. Kita perlu pahami bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca. Melainkan kemampuan untuk mencerna informasi yang diterima,” sambung Yenny lagi.

Dalam diskusi tersebut, Yenny menjelaskan ada empat tantangan yang sedang dihadapi masyarakat secara umum. Keempatnya adalah radikalisme, intoleransi, ujaran kebencian dan ekstremisme kekerasan.

Keempat persoalan ini terjadi karena ada situasi yang membuat seseorang atau sekelompok orang mengalami keterkucilan atau teralienasi secara sosial. Penyebab lainnya adalah akses ekonomi yang rendah, selain literasi yang lemah.

Menurut Yenny, sudah saatnya pemerintah dan anggota masyarakat bahu membahu untuk melakukan intervensi yang bisa meningkatkan kohesivitas sosial, meningkatkan kesejahteraan sosial dan meningkatkan kualitas literasi.

“Hanya dengan demikian kita bisa menciptakan generasi yang tangguh atau resilient terhadap paparan intoleransi dan radikalisme,” ujar alumni Harvard Kennedy School ini.

Selesai Cuti Pilpres

Dalam diskusi itu Yenny yang didampingi Ketua Bidang Kerjasama Antara Lembaga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jakarta Amy Atmanto mengatakan dirinya senang karena dapat kembali melanjutkan tugasnya sebagai Direktur Wahid Foundation setelah cuti akibat mengikuti pilpres sejak bulan Oktober 2018.

“Hari ini saya senang, karena bisa kembali memimpin Wahid Foundation setelah cuti pilpres,” kata ibu dari tiga anak ini.

Yenny memutuskan cuti untuk menjaga netralitas Wahid Foundation. Dia mengatakan, bahwa selama proses pemilu yang lalu semua personel Wahid Foundation yang memiliki aspirasi politik tertentu harus bisa membedakan aspirasi pribadi dan aspirasi politik.

“Kami ingin menitipkan aspirasi masyarakat bawah yang selama ini kami dampingi pada pemerintahan berikutnya,” ujarnya lagi.

Gosip Calon Menteri

Dalam tanya-jawab, sejumlah peserta diskusi mengajukan pertanyaan mengenai kabar yang mengatakan bahwa Yenny merupakan salah seorang calon menteri dalam pemerintahan Joko Widodo bila kembali terpilih.

Yenny yang tidak menyangka hal itu ditanyakan, mengatakan bahwa yang namanya rumor adalah hal yang biasa bertebaran.




Indonesia Raih “Best Tourism Villages 2024" UN Tourism untuk Desa Wisata dengan Sertifikat Berkelanjutan

Sebelumnya

Konten Pornografi Anak Kian Marak, Kementerian PPPA Dorong Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Digital

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News