DUA hari lalu KPU akhirnya mengumumkan hasil pemilu. Hasilnya: partai penguasa kalah. Hanya mendapat 115 kursi. Itu pun dicurigai sudah lewat penggelembungan suara. Hitungan pihak oposisi partai itu hanya mendapat 97 kursi.
Tapi partai penguasa itu tampaknya akan tetap berkuasa: partai Palang Pracharat. Partai ini memang berada di belakang militer. Yang melakukan kudeta lima tahun lalu.
Yang dikudeta adalah perdana menteri wanita: Yingluck Shinawatra. Adik kandung Taksin Shinawatra, perdana menteri sebelumnya.
Partai yang didukung keluarga Shinawatra inilah yang menang: dapat 136 kursi. Yakni partai Pheu Thai. Yang menurut hitungan internal mendapat 137 kursi.
Pemenang ketiga ternyata juga partai oposisi: Partai Future Forward. Di bawah pimpinan idola anak muda: konglomerat muda, Thanathorn. Mendapat 80 kursi.
Masih ada empat partai kecil lagi yang akan bergabung ke oposisi. Menurut hitungan internal mereka oposisi akan bisa menguasai 255 kursi. Dari 500 kursi DPR. Berarti cukup untuk menjadi mayoritas. Dan bisa membentuk pemerintahan baru.
“Bersejarah,’’ kata mereka.
“Tumbanglah junta militer,’’ pikir mereka.
“Hiduplah demokrasi,’’ teriak mereka.
Ternyata tidak.
Hitungan mereka tidak sama dengan hitungan KPU.
Di Thailand cara menghitung hasil pemilu juga sangat ruwet. Yakni sejak rezim militer mengubah sistem perolehan kursi. Memang, di bawah kekuasaan militer itu, UU Pemilu diperbaharui. Pada tahun 2016 lalu.
Kini partai yang gagal di semua dapil pun bisa dapat kursi. Asal suara kecil-kecil di semua dapil itu dikumpulkan di tingkat nasional. Begitu suara itu mencapai 30.000 partai tersebut bisa dapat 1 kursi.
“Harga” satu kursi pun juga diturunkan. Dari 71.000 suara menjadi hanya 30.000 suara. Dengan cara itu kini ada 26 partai kecil yang bisa mendapat kursi di DPR.
Pihak oposisi sejak awal sudah curiga. Cara baru ini dinilai sengaja diciptakan untuk menghadang partai besar. Tujuannya: mempertahankan kekuasaan junta militer. Lewat pemilu yang seolah demokratis.
Dan jangan lupa. Kalau pun gabungan oposisi bisa mendapat 255 kursi, masih belum tentu juga bisa berkuasa.
Mengapa? Bukankah 255 kursi sudah melebihi separo kursi di DPR?
Bukan.
Sekarang, pemilihan perdana menteri tidak hanya berlangsung di DPR. Harus juga dapat mengesahan DPD (senat). Yang anggotanya 250 kursi.
Padahal yang mengusulkan calon anggota senat itu pemerintah. Untuk dimintakan persetujuan raja.
Usulan pemerintah itu sudah diajukan sebelum penobatan raja minggu lalu. Daftarnya sudah di tangan raja. Mereka adalah utusan daerah, utusan suku dan utusan golongan. Yang dianggap aspirasi mereka tidak terwakili dalam partai-partai.
Di zaman Orde Baru saya pernah diangkat jadi anggota MPR utusan golongan seperti itu. Saya tidak begitu tahu prosesnya. Syaratnya banyak. Salah satunya harus terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Nama saya harus ada dalam DPT.
Saya mengakui terus terang: saya tidak terdaftar. Tidak pernah mendaftar. Tidak pernah ikut Pemilu. Saya selalu ikut gerakan golputnya mahasiswa waktu itu.
Sudah telat. Waktu pendaftaran pemilih sudah lama ditutup.
KOMENTAR ANDA