KOMENTAR

PENYAKIT tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian di dunia. Berdasarkan WHO Global TB Report 2018, insiden TB di Indonesia diperkirakan mencapai 842.000 kasus, dengan 442.172 kasus TB teridentifikasi dan 399.828 yang tidak teridentifikasi atau di diagnosa.

Insiden TB pada laki-laki dewasa di Indonesia mencapai 492.000 kasus; 349.000 kasus pada perempuan dewasa dan 49.000 pada anak-anak.

Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang penularannya sangat cepat, mudah dan dapat mengancam siapa pun tanpa memandang latar belakang orang tersebut. Bakteri TB ditularkan melalui udara saat orang dengan TB batuk, berbicara atau menyanyi, mereka memercikkan kumat TB ke udara, sehinga seorang lainnya dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB.

”Beberapa tanda dan gejala dari TB pada paru - paru adalah batuk berkepanjangan hingga dua minggu atau lebih,sakit di dada, batuk darah atau berdahak (dahak berasal dari paru – paru), mudah lelah, penurunan berat badan, tidak nafsu makan, panas dingin, demam, berkeringat di malam hari,” jelas Dr. dr. Erlina Burhan. MSc, Sp.P(K) – Dokter Spesialis Paru dan pakar TB dan MDR-TB 

TB dapat disembuhkan dengan menjalankan pengobatan yang membutuhkan tingkat kepatuhan yang tinggi dan sesuai anjuran dokter. Namun, pengobatan TB berlangsung lama. Banyak pasien TB yang terkadang berhenti menggunakan obat setelah beberapa bulan menjalani karena sudah merasa lebih baik. Ketidakpatuhan pasien TB dalam pengobatannya dapat memperburuk kondisi pasien tersebut, sehingga menjadi pasien yang disebut Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB).

“MDR-TB adalah suatu kondisi dimana pasien resisten terhadap minimal 2 (dua) obat anti TB paling ampuh, yaitu isoniazid dan Rifampisin atau obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin, dan pirazinami. Sehingga pasien MDR-TB akan membutuhkan pengobatan dengan dosis yang lebih tinggi,” ungkap Dr. dr. Erlina Burhan.

Untuk menekan angka dan mengakhiri epidemi TB di Indonesia, sektor industri memegang peranan penting dalam pencegahan dan manajemen kasus TB mengingat kasus TB terbesar di Indonesia ditemukan di kelompok usia produktif. Diharapkan pihak swasta dapat terus mendukung pemerintah untuk bisa juga berperan dengan memberikan laporan penemuan kasus dan pengobatan yang diberikan.

Sebagai salah satu perusahaan kesehatan global, Johnson & Johnson menaruh perhatiannya pada masalah kesehatan masyarakat dan khususnya TB sebagai salah satu fokus utama. “Guna mengakhiri epidemi TB pada tahun 2030 kami sadar bahwa sangat dibutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, swasta, dan NGO. Dan dengan tingginya kasus TB di Indonesia, kami semakin sadar bahwa sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai TB melalui beberapa inisiatif,” jelas Lakish Hatalkar, Presiden Direktur PT Johnson & Johnson Indonesia.  

Penanganan dan pengobatan TB dapat dilakukan sejak dini dan sesuai standar yang direkomendasikan. Dibutuhkan keahlian dan pelatihan tenaga medis terutama di perusahaan-perusahaan dalam mendeteksi dan menemukan kasus TB. Seperti melakukan pengembangan kapasitas untuk dokter dan petugas kesehatan, seperti lokakarya MDR-TB, training for trainer MDR-TB, symposium MDR-TB tingkat lokal dan regional.

 

”Peran kita semua sebagai industri sangat penting untuk mengakhiri epidemi TB di Indonesia dan dapat dimulai dengan memperhatikan lingkungan tempat kita bekerja. Untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencapai Indonesia bebas TB,”  jelas Devy Yheanne, Country Leader of Communications & Public Affairs, PT Johnson & Johnson Indonesia.




3 Resolusi Sehat Menjelang Tahun 2025: Jangan Abai Mengelola Stres

Sebelumnya

Cara Mengolah Kentang yang Tepat Agar Nutrisinya Terjaga

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health