SERUPA tapi tentu saja tak sama dengan Yo Ko di dalam kisah Sin Tiauw Hiap Lu mahakarya Jin Yong, saya merasa beruntung memiliki banyak sahabat merangkap mahaguru berbagai bidang keilmuan dan pengetahuan.
Kebencian
Ketika terbebani rasa prihatin menyaksikan betapa sesama warga Indonesia saling membenci sesama warga Indonesia akibat angkara murka perebutan tahta kekuasaan di negeri tercinta ini maka saling berjuang demi saling mengalahkan, saya beruntung memiliki dua sahabat yaitu Bambang Waluyo sebagai mahaguru Kejawen saya serta Sandyawan Sumardi sebagai mahaguru kemanusiaan saya, menghibur duka lara nurani dan sanubari.
Kedua sahabat merangkap mahaguru saya itu mengingatkan saya kepada untaian pitutur kalimat mutiara berbahasa Jawa halus: “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti” (setiap kebencian, kemarahan, kekerasan hati akan luluh oleh kelembutan, kebijaksanaan, dan kesabaran).
Secara terpisah, sang mahaguru Kejawen saya yang satu lagi yaitu sang pendiri Institut Humor Indonesia Kini (IHIK), Darminto M. Sudarmo alias Odios, juga mengingatkan saya pada sang kalimat mutiara kebudayaan Jawa tersebut.
Candra Birawa
Banyak kisah terkait “Sura Dira Jayaningat, Lebur Dening Pangastuti” misalnya bait “Sekar Kinanthi” dalam “Serat Witaradya” mahakarya R Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra SangPrabu Aji Pamasa di negara Witaradya.
Di dalam lakon Wayang Purwa makna “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti” tersirat dan tersurat pada episode menjelang akhir perang Bharatayuda, di mana Puntadewa terpaksa harus berhadapan dengan Prabu Salya yang memiliki aji kesaktian Candra Birawa berupa raksasa yang jika dibunuh akan hidup kembali bahkan jumlahnya menjadi dua kali berlipat ganda.
Satu dibunuh hidup dua, dua dibunuh hidup empat, empat dibunuh hidup delapan, delapan dibunuh hidup enambelas, enambelas dibunuh hidup tigapuluhdua dan seterusnya dan seterusnya tanpa batas akhir.
Kesabaran
Bima dan Arjuna kewalahan menghadapi para raksasa Candra Birawa ini. Setiap dipukul dengan gada oleh Bima, atau dipanah oleh Arjuna, alih-alih tewas, jumlah Candra Birawa malah makin berlipatganda.
Akhirnya ribuan Candra Birawa berhadapan dengan Puntadewa, sulung Pandawa Lima raja Amartapura yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah, tidak pernah membenci apalagi melakukan kekerasan.
Raksasa-raksasa Candra Birawa tidak dilawan, bahkan didiamkan saja.
Akhirnya para raksasa tidak mampu melawan kesabaran Puntadewa sehingga menyerah kalah kemudian menghilang ke alam baka.
Pada hakikatnya “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”, merupakan sebuah ajaran yang patut kita renungkan bersama pada masa kemelut perebutan kekuasaan dengan hasrat saling mengalahkan seperti yang kini sedang merundung persada Nusantara tercinta ini.
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
KOMENTAR ANDA