AROGANSI Israel dan Amerika di Timur Tengah bagaikan sudah menyundul langit. Sikap semau gue dengan alasan kepentingan nasional masing-masing dijadikan jastifikasinya, sementara kepentingan nasional negara lain diabaikan sama sekali.
Tidak dibuka sama sekali ruang negosiasi dan kompromi, yang dilakukan kedua negara ini pada realitasnya hanya mendikte. Jika situasi seperti ini terus berlangsung, maka kemungkinan terjadinya perang hanya persoalan waktu.
Di sisi lain persoalan Palestina yang menjadi sumber persoalan di Timur Tengah, bukan saja mengalami stagnasi, akan tetapi mengalami kemunduran yang sangat drastis, khususnya sejak Donald Trump berkuasa. Akumulasi kekecewaan terhadap Israel dan Amerika, telah menimbulkan kemarahan, bukan saja bagi masyarakat Palestina dan masyarakat di Timur Tengah, akan tetapi juga masyarakat internasional.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana perang besar akan dimulai? Melihat peta politik dan militer yang ada, dan bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung melakukan kalkulasi politik, ekonomi, dan militer agar dapat keluar sebagai pemenang. Maka ada beberapa sekenario yang mungkin terjadi.
Pertama, Amerika sebagai aktor utama, tentu menginginkan perang akan berlangsung singkat dan terbatas. Medan yang paling disukai, tentunya wilayah Iran secara langsung. Dengan pilihan ini, maka Amerika akan memiliki kesempatan untuk menghancurkan seluruh instalasi nuklir Iran, dan berbagai industri militer yang dimilikinya.
Sementara Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang menjadi pendukungnya, juga menyukai sekenario ini. Pilihan seperti ini akan menyebabkan wilayahnya jauh dari medan perang, yang tentu akan menyelamatkannya dari berbagai resiko kerusakan, sebagaimana sebelumnya ketika Amerika menggempur Irak.
Kedua, bagi Iran tentu medan yang disukainya jika terjadi di luar wilayahnya. Dengan pilihan ini, maka kekuatan Iran akan tetap utuh dalam menopang perang proksi yang akan dihadapinya, seperti selama ini ia lakukan.
Selain itu, mengingat peralatan perang yang dimilikinya kalah canggih dibanding Amerika, sementara kelebihan yang dimilikinya berupa jumlah pasukan dan militansi milisia-milisia yang tersebar di berbagai negara, maka perang frontal tentu akan dihindari. Dengan demikian perang akan berlangsung berkepanjangan. Disinilah titik lemah Amerika yang tidak pernah menang, dalam perang berkepanjangan, sebagaimana dialaminya di Suriah, Irak dan Afghanistan.
Kalau ternyata sekenario kedua yang terjadi, maka akan muncul pertanyaan berikutnya, dimana medan yang akan dipilih ? Ada dua negara yang potensial dan siap untuk itu, yakni Suriah dan Irak.
Bagi Suriah yang baru saja berhasil memenangkan perang proksinya yang berlangsung bertahun-tahun melawan Amerika, yang didukung oleh Israel dan sejumlah negara Arab, tentu ingin menuntaskannya dengan tujuan yang sangat jelas.
Diantara tujuan yang diinginkan penguasa di Damaskus adalah mengkonsolidasi kembali teritorialnya. Untuk itu, seluruh milisia dan pasukan asing yang mengganggunya akan diusir, termasuk pasukkan Amerika dan Eropa yang masih ada disana.
Sementara milisia dan pasukkan asing yang mendukungnya, seperti pasukan Rusia, Iran dan milisia dari berbagai negara, khususnya Hizbullah asal Lebanon, akan dimanfaatkannya secara maksimal. Apabila memungkinkan, kekuatan ini akan diarahkan ke Israel untuk merebut kembali dataran tinggi Golan yang didudukinya. Israel sangat takut dengan sekenario ini.
Bagi Irak, jika wilayahnya dipilih menjadi medan laga, maka penguasa Irak saat ini akan memanfaatkannya untuk memperkokoh kekuasaan di Bagdad. Sampai saat ini, ada dua hal yang sering mengganggu otoritas pemerintah yang berkuasa.
Pertama, suku Kurdi yang ingin lepas dan mendirikan negara sendiri. Suku Kurdi sebenarnya telah diberi otonomi sangat luas, bukan saja dalam bidang ekonomi, akan tetapi termasuk dalam bidang pertahanan dan keamanan. Mereka memiliki pasukan tersendiri yang hanya loyal dengan pemerintahan setempat yang beribukota di Erbil.
Kedua, keberadaan pangkalan Amerika di Irak, terutama pangkalan udaranya di Al Asad dan pangkalan lain yang sangat penting di Erbil. Keberadaan pangkalan ini ibarat duri dalam daging bagi pemerintah di Bagdad. Pasukan Amerika bukan saja tidak menghormati pemerintah di Bagdad, akan tetapi sering dianggap melecehkan. Presiden Amerika Donald Trump pernah datang ke sini akhir tahun lalu untuk merayakan Natal dengan pasukannya tanpa memberitakan Bagdad.
Selain itu, keberadaan pasukkan Amerika yang berjumlah sekitar 5.000, membuat pemerintahan di Kudistan yang didukungnya menjadi lebih berani dengan Bagdad. Karena itu, jika wilayah Irak dipilih untuk medan laga, maka tentara Amerika akan diusir paksa, sebagaimana ia diusir dari Somalia dan dari Lebanon.
Serangan-serangan sporadis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil milisia yang berafiliasi ke Iran sudah dimulai. Dua tanker Saudi Arabia yang sedang berlayar di pantai Uni Emirat Arab dan dua instalasi minyak Saudi Arabia telah menjadi sasaran.
Adu strategi dan adu taktik yang ditopang oleh informasi intelijen antara Amerika dan Iran, akan menentukan bagaimana jalannya perang di Timur Tengah yang tampaknya akan terjadi tidak lama lagi. Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi
KOMENTAR ANDA