KALI ini tumben. Setiap kali ada Pilpres koran-koran besar Amerika bersikap: mendukung Capres yang mana. Kecuali harian nasional USA Today.
Selasa kemarin koran itu berbuat 'tumben'. Kali ini menunjukkan sikap: tidak merekomendasikan Donald Trump menjadi calon presiden yang pantas dipilih. Di Pilpres tahun depan.
Biasanya koran-koran independen di Amerika 'mendukung siapa'. Bukan 'tidak mendukung siapa'.
Baru USA Today yang melakukan itu.
Alasannya diuraikan panjang lebar. Di rubrik editorialnya. Misalnya: Trump itu orangnya aneh. Tidak menentu. Tidak bisa dipegang. "Erratic," tulis USA Today.
Trump juga dinilai "tidak cukup punya kemampuan untuk menjadi panglima besar".
Ada lagi: Trump punya pribadi yang kasar dan kebohongannya berseri-seri. Serial.
Ini juga: Trump itu penuh dengan prasangka. "Trump itu tidak level dibanding watak orang Amerika," tulis USA Today.
Karena itu, menurut koran itu, rapat dewan redaksi sepakat bulat. Untuk tumben. Tidak merekomendasilan Trump sebagai calon presiden.
Selama dua tahun kepresidenannya ini Trump dinilai hanya memperdangkal dialog nasional. Wacana nasional berubah menjadi dialog yang kasar.
Semua itu didasari dari latar belakang karir panjang Trump di bisnis yang zig-zag. Yang loncat-loncat.
Sikap USA Today ini mengejutkan karena begitu dininya dilontarkan. Proses pencapresan sendiri masih sangat awal. Tingkat partai pun belum. Hanya saja, memang. Incumbent biasanya otomatis dicapreskan oleh partainya. Republik.
Tentu Trump langsung naik pitam. Koran itu dia ramal akan ditinggalkan pembacanya. Dan akan mati sebelum ia menyelesaikan masa jabatan kedua nanti.
Selama ini musuh utama Trump adalah koran-koran daerah. Yang mutunya internasional. Seperti New York Times. Atau Washington Post. Kini bertambah dengan koran nasional seperti USA Today.
Dalam sejarahnya memang pernah sekali USA Today bersikap. Tapi hanya untuk pemilihan gubernur. Di negara bagian Louisiana. Tahun 1999. Ketika ada calon gubernur yang pro KKK, Ku Klux Klan. Namanya David Duke.
USA Today berbuat seperti yang dilakukan terhadap Trump sekarang ini.
Dan Duke memang kalah di pilgub itu.
Duke memang selalu kalah. Di pemilihan apa saja. Ikut Capres lewat Demokrat kalah sebelum maju. Ikut Capres partai Republik juga kalah di babak sangat awal. Ikut Pileg untuk Dapil di Louisiana juga kalah. Ikut pileg DPD di Louisiana juga kalah.
Satu-satunya yang pernah menang hanya saat pemilihan anggota DPRD di Louisiana. Itu pun untuk pemilu sela. Menggantikan anggota DPRD yang berhenti. Itu pun harus dua putaran. Itu pun hanya dapat 8.469 suara.
Sejak mahasiswa Duke sudah ekstrim. Mendirikan banyak organisasi mahasiswa radikal. Kata-katanya, pidatonya, tindakannya memberikan kesan seperti Trump sekarang. Sejak mahasiswa Duke sudah anti kulit hitam, anti Yahudi, memuja keunggulan kulit putih. Duke juga menganggap holocaust itu hanya mitos. Tidak benar-benar ada.
Di universitasnya di Tusla Duke sering mengenakan pakaian kebesaran Hitler. Juga biasa mengadakan perayaan di tanggal kelahiran Hitler.
Tentu Duke mendukung Trump di Pilpres yang lalu. Hampir semua pemikiran dan tindakan Duke sama dengan Trump. Kecuali bahwa Trump sangat pro Israel.
Tentu ada perbedaan yang lain: Duke tinggi, ramping, dengan wajah yang ganteng, hidung yang sempurna, rambut yang pirang gelap.
Pokoknya Duke itu seperti bintang film. Sedang Trump seperti itu.
KOMENTAR ANDA