SECARA ragawi, saya tidak sempat jumpa Pak Dirman karena beliau wafat pada tahun 1950 ketika usia saya baru satu tahun.
Namun saya beruntung sempat berjumpa bahkan berguru sejarah perang kemerdekaan Republik Indonesia pada mantan Menko Kesra RI merangkap mantan ajudan Panglima Besar Soedirman, yaitu Soepardjo Roestam yang setia mendampingi Pak Dirman ketika dalam kondisi sakit bergerilya melawan angkara murka penjajah.
Dari Pak Pardjo, saya berupaya banyak belajar tentang Pak Dirman. Ternyata Pak Dirman juga anak adopsi dan juga semula pernah bekerja sebagai guru seperti saya. Hanya beda kemudian saya sama sekali tidak pernah menjadi prajurit, namun mengagumi semangat pengabdian prajurit kepada negara, bangsa dan rakyat.
Bogor
Pada 1936, Pak Dirman mulai bekerja sebagai seorang guru dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah. Ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Pak Dirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman melakukan pemberontakan sehingga dijebloskan ke penjara di Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari penjara demi pergi ke Jakarta menjumpai Presiden Soekarno. Kemuidan Pak Dirman ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.
Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih sebagai pimpinan TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo yang kalah satu suara menjadi kepala staf. Langsung Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran. Keberhasilan menghalau tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, sehingga akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember.
Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan penjajah yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang direbut kembali pada Agresi Militer I kepada Belanda.
Tidak Percaya Penjajah
Pada awal Agustus 1948, Pak Dirman menjumpai Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya, akibat tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Pak Dirman.
Soedirman menyalahkan keraguan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip, maka ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama.
Setelah menyadari bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, terpaksa Soedirman tetap menjabat. Sambil sakit-sakitan sampai harus berjalan dengan tongkat bahkan diangkut dengan tandu, Pak Dirman tetap gigih memimpin perang gerilya melawan penjajah.
Masa Akhir
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem.
Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Dia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali menjadi ibu kota negara.
Menghormati Pak Dirman
Satu dari sekian banyak warisan pesan pak Dirman yang sangat terkesan bagi sanubari saya yang kini bermukim di kawasan Jalan Soedirman di ibukota Indonesia, adalah bahwa prajurit TNI wajib berani mengorbankan diri sendiri namun jangan sekali-kali berani mengorbankan rakyat sebab rakyat adalah Ibu Kandung Negara dan Bangsa Indonesia.
Keadiluhuran pesan Pak Dirman yang tegas menolak perjuangan dengan mengorbankan rakyat tersebut visioner sebab kini merupakan sukma utama Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati oleh seluruh anggota PBB (termasuk Indonesia) sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI tanpa mengorbankan rakyat.
Saya yakin bahwa kini di alam baka, arwah Jenderal Besar Soedirman pasti sangat amat bersedih hati menyaksikan bagaimana setelah 74 tahun merdeka, kini perjuangan bangsa Indonesia bukan melawan penjajah namun justru melawan sesama rakyat Indonesia sendiri.
KOMENTAR ANDA