PADA masa belajar dan mengajar di Jerman, saya kerap bertukar pandang dengan teman-teman warga Jerman tentang bahasa bangsa kita masing-masing.
Saling Mengagumi
Saya mengagumi kandungan makna yang luas dan mendalam kata-kata bahasa Jerman seperti Gesselschaft, Gemeinschaft, Gesselig, Mitleid, Schadenfroh, Zeitgeist, Vernunft, Lebensraum, Weltanschaung yang tidak mudah beitu saja diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia.
Sebaliknya, teman teman Jerman mengagumi kata ulang bahasa Indonesia seperti pura-pura, tiba-tiba, samar-samar, masing-masing, jangan-jangan yang tidak lazim di bahasa Jerman.
Makna kata ulang Indonesia tidak bisa diseragamkan begitu saja sebab masing-masing memiliki makna yang otonom saling beda satu dengan lainnya. Seperti pada kata pura-pura: sang kata ulang sama sekali tidak memiliki keterkaitan makna dengan sang kata asal.
Atau kata tiba apabila dikata-ulangkan menjadi tiba-tiba secara tiba-tiba memiliki makna yang tiba-tiba sama sekali lain.
Sementara tiada korelasi makna antara gara dengan gara-gara. Kaum lelaki kerap disebut laki-laki, namun kaum perempuan tidak disebut perempuan-perempuan kecuali dalam makna plural. Kapan-kapan beda makna dengan kapan.
Moga adalah nama sebuah desa di kecamatan Moga, Pemalang, Jawa Tengah yang apabila diulang menjadi moga-moga, langsung berubah makna menjadi hendaknya.
Naga-naga bermakna plural namun apabila ditambah kata 'nya' langsung berubah makna menjadi gelagat. Mirip nasib kata mudah apabila diulang dan ditambah 'an', menjadi mudah-mudahan, langsung beda makna banget dengan kata asalnya sendiri. Pendek kata, bagi teman-teman Jerman, kata ulang bahasa Indonesia memang keren banget!
Jangan-Jangan
Berkat kekaguman teman-teman Jerman itu, saya makin bangga atas bahasa bangsa saya sendiri. Misalnya satu di antara sekian banyak kata ulang adalah jangan-jangan. Kata jangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna kata yang menyatakan larangan; berarti tidak boleh; hendaknya tidak usah. Secara kuliner, istilah jangan digunakan untuk jenis masakan sayuran seperti jangan lodeh atau jangan asem.
Menarik adalah apabila kata jangan diulang menjadi jangan-jangan maknanya bukan dua kali lipat tidak boleh atau dua kali makin hendaknya tidak usah atau dua masakan sayuran, tetapi langsung berubah menjadi barangkali atau mungkin.
Namun kita dapat merasakan bahwa nuansa sukma makna jangan-jangan tidak persis sama dengan barangkali atau mungkin. Kalimat “jangan-jangan ada udang di balik batu” terkesan lebih puitis ketimbang “barangkali ada udang di balik batu” atau “mungkin ada udang di balik batu” atau “siapa tahu ada udang di balik batu”.
Ada kata ulang mirip makna dengan jangan-jangan yaitu kalau-kalau. Tetapi kalau-kalau lebih bersifat jaga-jaga alias waspada terhadap kemungkinan yang belum dapat dipastikan akan terjadi.
Semisal kalimat “Sebaiknya jangan menyebut nama, kalau-kalau ada yang berniat melapor ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik” terasa lebih lembut ketimbang, “Sebaiknya jangan menyebut nama, jangan-jangan ada yang berniat melapor ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik”.
Dapat dimahfumi, para penyandang paranoida lazimnya menganut mazhab jangan-janganomologi akibat selalu dihantui jangan-jangan ini, jangan-jangan itu, jangan-jangan anu.
Tua-Tua Keladi
Sampai di sini, jangan-jangan timbul kesan bahwa saya lebay alias berlebihan dalam membanggakan bahasa bangsa saya sendiri.
Namun apa pun risikonya, mohon dimaafkan bahwa jangan-jangan saya memang menderita sindroma tua-tua keladi alias makin tua makin menjadi.
Maka mohon dimaafkan bahwa memang makin tua usia saya, memang apa-boleh-buat saya makin bangga terhadap kebudayaan termasuk bahasa bangsa saya sendiri. MERDEKA!
Penulis penggagas Gerakan Kebanggaan Nasional
KOMENTAR ANDA