SEJAK mulai agak bisa sedikit berpikir, saya kerap merasa bingung mengenai sebenarnya diri saya ini “ada” atau “tidak ada”.
Jangan-jangan sebenarnya saya ini “tidak ada” namun menjadi “ada” akibat pikiran saya menganggap diri saya ini “ada” padahal sebenarnya “tidak atau belum tentu ada”. Atau sebaliknya?
Pendek kata, pikiran saya kerap bingung bahkan absurd sambil terkesan mubazir seperti seekor anjing yang berputar-putar akibat sibuk ingin menggigit ekornya sendiri.
Ternyata saya tidak sendirian dalam kebingungan tentang fenomena “ada” dan “tidak ada”. Terbukti pada ilmu filsafat ada sebuah istilah yang disebut sebagai Meontologi
Ontologi
Mentologi tidak termasuk kelompok istilah bikinan saya sendiri. Secara etimologis, terminologi Meontologi berasal dari kata bahasa Yunani kuno “me” yang bermakna “tidak” dan “on” yang bermakna “ada” diembel-embeli “logos” yang bermakna “ilmu”. Pada hakikatnya Meontologi bukan menelaah sesuatu yang benar-benar tidak ada namun sekedar sebagai upaya menelaah perihal di luar jangkauan Ontologi yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat nyata.
Menarik bahwa tradisi telaah meontologis tidak terlalu lazim di alam pemikiran kebudayaan Barat semisal yang dilakukan oleh para Sofis dan teolog negatif, tetapi merupakan titik pusat sasaran alam pemikiran kebudayaan Timur seperti Taoisme yang kemudian disusul Buddhisme. Pemikiran Kejawen juga kerap nyrempet-nyrempet ranah Meontologi.
Nishida
Kitaro Nishida merupakan filosof Jepang yang memelopori upaya pemahaman pemikiran Timur mengenai “ketidak-adaan” ke dalam paradigma pemikiran Barat. Nishida berjasa mengajak para pemikir Barat untuk lebih berupaya memahami pemaknaan Buddhisme mengenai “ketidak-adaan” yang sekaligus melakukan penekanan deferral oleh Martin Heidegger dan Jacques Derrida.
Filosof Prancis, Jean-Luc Nancy secara tegas membedakan antara “keberadaan” dengan “kebertidakadaan” melalui pernyataan bahwa tidak ada Ontologi tanpa dialektika atau paradoksa Meontologi. “Kebertidakadaan” merupakan suatu keadaan ke arah kesederhanaan keberadaan sesuatu benda.
“Kebertidakadaan” adalah sebuah kualitas momentarial yang menghilang dari kuantitas terkecil dari sebuah “keberadaan” (etantite).
Apabila Anda mengerti apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh Jean-Luc Nancy maka Anda benar-benar pemikir hebat. Terus terang saya tidak mengerti karena saya sama sekali bukan seorang pemikir namun sekedar pembelajar pemikiran manusia. Malah dikuatirkan jika merasa mengerti saya akan dumeh maka berhenti belajar.
Peduli
Lain halnya dengan pemikir Prancis kelahiran Lithuania, Emmanuel Levinas yang menafsirkan Meontologi sebagai upaya mencari makna di luar “ada” serta di luar Ontologi dalam hasrat utama selain perjumpaan frontal.
Levinas berupaya mengklarifikasi apa yang telah dicari oleh Martin Heidegger dengan secara eksplisit memberi Ontologi suatu peran sekunder terhadap etika ketimbang melanjutkan penyejajaran dengan menyatakan bahwa “ada” mengandung makna “Sorge” sebagai istilah Jerman untuk “care” dalam bahasa Inggris dan “peduli” dalam bahasa Indonesia.
Daya “peduli” memang lebih intensif ketimbang “perhatian”. Maka dapat dikatakan bahwa para pejuang kemanusiaan adalah para meontolog kemanusiaan akibat mereka bukan saja memperhatikan namun peduli kemanusiaan.
Saya menulis naskah membingungkan ini jelas bukan akibat merasa memahami makna Meontologi secara benar-benar sempurna benar namun sekadar demi membuktikan bahwa yang bingung mengenai fenomena “ada” dan “tidak ada” sebenarnya bukan hanya saya seorang diri saja.
Meontologi sekaligus juga berhasil menghibur serta memaafkan diri saya sebagai bukti keberadaan fakta bahwa yang gemar bikin istilah logi-logi ternyata bukan hanya saya seorang diri belaka.
Penulis adalah penggagas Kelirumologi, Jamulogi, Humorologi, Alasanologi, Malumologi, Bingungologi, Angkamologi, Pialaduniamologi, Andaikatamologi.
KOMENTAR ANDA