DUBES RI untuk Thailand, Ahmad Rusdi menugaskan Atase Pendidikan & Kebudayaan KBRI Bangkok, Prof Mustari Mustafa untuk mendukung upaya saya mempergelar Malam Kesenian Nusantara di Bangkok, medio Desember 2018.
Ternyata beliau adalah penulis buku “Dakwah Sufisme Syekh Jusuf Al Makassary”. Maka saya beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar mengenal Syekh Yusuf dari Prof. Mustari Mustafa.
Al Syekh Yusuf bin Abdullah al Jawi al Makassari
Dalam karya Syekh Yusuf, Tuhfat al-Mursalah, tertulis nama al-Syekh Yusuf al-Taj Abu al-Harkani al-Majalawi. Nama ini menunjukkan seorang waliyullah yang mengetahui asal-usulnya, yaitu keturunan bangsawan negeri Majalawi Makassar. Dalam al-Naba fi I’rab La Ilaah illallah, tertulis nama al-Syekh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al-Makassari, yang menunjukkah bahwa dia adalah wali sufi dari tanah Jawa dan Makassar.
Syekh Yusuf belajar bahasa Arab, ilmu Fiqh, dan ilmu-ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan. Gurunya, I Daeng ri Tasammeng, melihat minat Syekh Yusuf pada ilmu tasawwuf, sehingga menyarankan Syekh Yusuf untuk mendalami ilmu tasawwuf di luar Makassar.
Kebetulan pada saat itu kerajaan Gowa yang sedang berkembang maka membutuhkan seorang ulama yang mumpuni. Jejak perjalanan Syekh Yusuf menuntut ilmu menjelajah mulai dari Banten, Aceh, Yaman, Hijaz, Suriah, sampai Istanbul,Turki Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syekh Yusuf kembali ke Tanah Air Udara tercintanya pada tahun 1668.
Melawan Penjajah
Syekh Yusuf kembali ke tanah kelahirannya tepat setelah terjadi perjanjian Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar sehingga perlawanan raja Gowa tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, ketimbang mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.
Keadaan tersebut di atas menyebabkan masyarakat kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Syekh Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui raja Gowa saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan.
Namun raja tidak memenuhi keinginan Syekh Yusuf. Kecewa atas sikap raja, maka Syekh Yusuf memutuskan untuk meninggalkan Makassar menuju Banten dan berharap dapat mengembangkan ajaran Islam di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Banten
Syekh Yusuf menjadi ulama berpengaruh di Banten karena pengetahuannya yang mendalam. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang. Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul mundur pasukan Belanda. Syekh Yusuf menjabat sebagai mufti selama 13 tahun yang berakhir setelah tertangkapnya Sultan Banten oleh Belanda.
Syekh Yusuf melanjutkan peperangan dengan taktik perang gerilya bersama sang putra raja Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul.
Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh sambil membangun serangan. Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur untuk menangkap Syekh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya.
Pengejaran itu berlangsung secara terus menerus, hingga akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan. Di tanah pengasingan Syekh Yusuf tetap menyebarkan agama Islam sambil tetap gigih menentang angkara murka kolonialisme.
Semangat perlawanan terhadap penjajah Syekh Yusuf menginspirasi warga pribumi Afrika Selatan. Syekh Yusuf wafat di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun.
Pahlawan Nasional
Jenazah Syekh Yufuf dibawa ke Gowa atas permintaan Sultan Abdul Jalil dan dimakamkan kembali di Lakiung, April 1705. Berdasar data rekam jejak perjuangan Syekh Yusuf melawan penjajah maka pada tahun 1995 Presiden RI, Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Syekh Yusuf.
Pada tahun 2009 pemerintah Afrika Selatan menganugerahkan penghargaan Oliver Thambo kepada tokoh Pahlawan Nasional Indonesia yang diasingkan oleh penjajah ke Afrika Selatan. Penghargaan Oliver Thambo diserahkan Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki kepada ahli waris Syekh Yusuf, pada suatu upacara kenegaraan disaksikan oleh Wapres RI, Jusuf Kalla di Pretoria, Afrika Selatan.
Penulis adalah pembelajar perjuangan para Pahlawan Nasional Indonesia.
KOMENTAR ANDA