PASTI bisa. Itulah jawaban Hamzah. Anak muda dari Lawang, Malang. Lulusan teknik mesin Universitas Brawijaya.
“Pasti bisa,” katanya menjawab pertanyaan saya: apakah ia bisa bikin pabrik tepung porang.
“Dibanding pabrik carrageenan, itu jauh lebih mudah,” ujar Hamzah. Yang dulu sering saya ajak diskusi. Agar kita bisa mengolah rumput laut. Menjadi tepung carrageenan. Yang kita impor besar-besaran.
Proses membuat tepung porang, katanya, tidak perlu fisika maupun kimia. Cukup mekanika. Untuk memisahkan unsur oksalat dengan glukomanan.
"Oksalat itu lebih ringan. Glukomanan lebih berat," katanya. Hamzah bisa membuat mesinnya.
Penanaman porang kini sudah meluas. Sampai Ponorogo (lihat DI's Way: Porang Komersial).
Bahkan sudah pula sampai Jember. Dan Wakil Bupati Sumbawa Besar sudah pula siap-siap. Membawa bibit porang ke NTB.
Kelak saya akan menemui seorang guru besar di Universitas Brawijaya. Yang paling ahli porang. "Prof Porang," julukannya.
Pabrik tepung porang pertama adalah milik Jepang. Yang di Pasuruan itu. Belakangan sudah muncul pabrik baru. Milik pengusaha dalam negeri. Tapi mesinnya impor.
Harga porang di tingkat petani sekarang ini sekitar Rp 7.500/kg. Dalam bentuk umbi bersih. Tiba di pabrik umbi itu dicuci dengan mesin. Sisa-sisa tanahnya harus tidak ada lagi. Lalu dihancurkan. Diperah. Perahan porang itu dicampur air yang banyak. Dialirkan melingkar-lingkar. Agar unsur oksalat yang ringan terpisah dari glukomanan yang berat. Glukomanan yang mengental itulah yang jadi tepung. Disebut tepung konyaku.
Cairan oksalatnya dibuang. Unsur oksalat itulah yang membuat umbi porang gatal. Tidak bisa dimakan. Bahaya. Oksalat bisa merusak ginjal.
Mesin pemisah oksalat itu harganya bisa Rp 1,5 miliar. Impor. Tapi Hamzah bisa menciptakannya dengan harga Rp 400 juta.
Tepung konyaku itulah yang jadi bahan baku makanan. Di Jepang menjadi mie. Atau beras. Mie/beras dari porang itu disebut shirataki. Dijual di toko-toko bahan makanan Jepang. Di Jakarta harga beras shirataki itu Rp 260.000/kg.
Anak saya ternyata sudah lama selalu makan nasi shirataki. Isna Iskan itu. Sejak lama. Sejak ingin badannya bagus. Tapi baru sekarang dia tahu kalau shirataki terbuat dari porang. Yang aslinya mungkin Nganjuk. Atau Bojonegoro. Atau Blora. Atau Ponorogo.
Jika biasanya sate ayam cocoknya dimakan dengan lontong. Sekarang dimakan dengan beras Shirataki juga enak. Dan sehat.
Hamzah sendiri tidak tertarik bisnis konyake. Ia hanya membantu siapa saja yang tertarik bikin tepung porang. Seperti yang sudah dilakukannya dengan Universitas Brawijaya Malang.
Hamzah sendiri terus menekuni pabrik carrageenan. Pabrik ciptaannya di Pasuruan. Yang bahan bakunya rumput laut.
Kini pabriknya yang di Pasuruan itu sudah dua kali lebih besar. Dibanding saat saya masih jadi sesuatu dulu. Itulah pabrik carrageenan yang mesin awalnya diciptakan oleh Hamzah sendiri.
Kini sudah ada empat pabrik carrageenan di Indonesia. Yang pertama milik perusahaan Jepang. Juga di Pasuruan. Yang bikin Hamzah terobsesi untuk 'harus bisa' bikin pabrik yang sama. Dan ternyata ia bisa.
Kebutuhan carrageenan di Indonesia masih sangat besar. Kita masih impor tepung carrageenan dari Tiongkok. "Padahal rumput lautnya 90 persen dari Indonesia," ujar Hamzah.
Hamzah juga senang kalau pabrik carrageenannya jadi tempat tugas akhir mahasiswa. "Sudah ratusan yang tugas akhir di sini. Dari Universitas Brawijaya, ITS dan Unair," katanya.
Setiap ada mahasiswa yang tugas akhir Hamzah selalu membuat persyaratan: judul tugas akhir harus dari Hamzah. "Semua kesulitan saya di pabrik ini saya jadikan judul tugas akhir," katanya. "Supaya mahasiswa dapat ilmu yang baru. Dan pabrik saya dapat manfaat," katanya.
Salah satu hasilnya sangat membanggakan. "Kami sudah bisa membuat kapsul obat dengan bahan baku carrageenan," ujar Hamzah.
Kapsul itu diproduksi oleh Unair. Di kampus C. Kapasitasnya 1 juta kapsul/hari.
KOMENTAR ANDA