INILAH Pare-Pare.
Di masa kanak-kanak, saya sangat akrab dengan kota ini, kota pelabuhan kedua terbesar di Sulawesi Selatan, setelah kota Makassar.
Di masa itu kami sering diajak orang tua untuk berlibur ke kota itu. Bahkan beberapa kali saya lakoni pergi sendiri naik bus. Banyak keluarga tinggal di Pare-Pare. Makanya kami bisa betah liburan hingga seminggu lamanya.
Bukan hanya laut dan perbukitan menjadi daya tarik Pare-Pare. Juga kulinernya yang beragam. Ayah, Haji La Bintang almarhum pernah bersekolah dasar di sana. Beliau lah yang menjadi “guide” untuk menjelajah tempat-tempat kuliner. Paling favorit tentu saja nasi kuning, songkolo (ketan), dan sop burasa, aneka seafood kelas istimewa.
Sepanjang perjalanan dari Makassar ke Pare-Pare sendiri punya daya tarik. Bersebaran kuliner khas sejak dari Maros, Pangkep, Segeri, dan Barru. Di situ Anda bisa menikmati penganan Gogos dan Telor Asin, juga goreng Cuwiwi — sejenis burung belibis.
Trip kami Makassar - Pare-Pare pergi pulang Sabtu dan Minggu (8-9 Juni) kemarin agak lama kami tempuh perjalanannya karena urusan nostalgia pada kuliner- kuliner itu.
Hal lain yang mengesankan adalah pemandangan alam menjelang masuk kota Pare-Pare. Pemandangan pantainya menyerupai pemandangan pantai kota-kota dunia. Seperti Cannes di Perancis atau Wellington dan Queens Town di New Zealand.
Malah mirip Long Island di California, AS. Kalahnya hanya pada kemampuan Pemda mengemasnya saja sehingga bisa dijual kepada turis asing. Belum fokus ditangani. Padahal potensil untuk menjadi sumber devisa negara.
Ada satu kawasan di Pare-Pare, yang cukup menjanjikan:
“Tonrangeng River Side” di pusat kota. Ini tampaknya baru dibangun. Pelatarannya dibangun menghadap laut tempat puluhan restoran dan cafe. Sabtu (8/6) malam saya berkunjung ke sana. Sayang semua restoran tutup karena semua karyawannya masih libur lebaran.
Padahal, musim libur lebaran inilah kesempatan buka untuk promosi kepada wisatawan yang datang dari Makassar atau kota- kota kabupaten di luar Pare-Pare. Malam itu hanya ada dua cafe dari kontainer yang buka. Beberapa pengunjung terpaksa hanya memanfaatkan tempat itu untuk berfoto-foto.
Kota Parepare terletak di sebuah teluk yang menghadap ke Selat Makassar. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Meskipun terletak di tepi laut tetapi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit.
Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak ±140.000 jiwa. Salah satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah B. J. Habibie, presiden ke-3 Indonesia.
Di awal perkembangannya, perbukitan yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Wikipedia mengulas sejarah Pare-Pare dari sumber Lontara Kerajaan Suppa. Kisahnya pada abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tunipallangga (1547-1566) yang berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang.
Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya, “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”.
Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna “Kain Penghias” yang digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat di beberapa bagian di antaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi “pura makkenna linro langkana PAREPARE” (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan.
Pare-Pare punya banyak obyek wisata lainnya. Seperti Sumur Jodoh Soreang, Goa Tompangeng, Desa Wisata Wattang Bacukiki, Salo Karajae, Museum Gandaria, Bendungan Lappa Angin, dan terbaru Monumen Cinta Habibie -Ainun.
Sumur Jodoh Soreang pernah saya ulas panjang di media 42 tahun lalu (Harian Angkatan Bersenjata, 1977). Sumur air tawar itu berada di bibir laut. Saat air laut pasang pun sampai menutupi permukaan sumur, tidak mengubah posisi: air sumur itu tetap tawar. Ia dianggap sumur ajaib. Sebagian percaya sumur jodoh.
Cerita yang berkembang setelah berkunjung ke sana dan mandi airnya, banyak pemuda-pemudi dapat jodoh. Betulkah itu? Wallahualam. Yang kita percaya selama ini jodoh itu di tangan Tuhan.
KOMENTAR ANDA