SEBAGAI warga Indonesia dan pembelajar kebudayaan, saya mengagumi kebudayaan Bugis. Satu di antara pesona mahakarya kebudayaan Bugis adalah Sureq Galigo sebagai mahakarya seni sastra yang dalam harkat-martabat layak berdiri-sama-tinggi-duduk-sama-rendah dengan Mahabharata, Ramayana, Sam Kok, Kojiki, Nihon Shoki, mahakarya-mahakarya Shakespeare, Goethe, Dickens, Hugo, Tolstoi, Melville dan lain-lain.
Sureq Galigo
Sureq Galigo atau kini populer disebut “ I La Galigo” merupakan sebuah mahakarya wiracarita asal-muasal peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad XIII dan XV dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno dengan aksara Lontara Bugis.
Mahapuisi Bugis ini terdiri dari sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis kehidupan sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada upacara-upacaratradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat Sureq Galigo paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat dirusak serangga, iklim mau pun vandalisme oleh manusia.
Maka tidak ada versi Sureq Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi satu di antara mahakarya sastra terakbar di planet bumi ini.
Sendratari
Maka saya sangat menghargai karsa direktur Ciputra Artpreneur, Rina Ciputra mempergelar mahakarya sendratari kontemporer “I La Galigo” garapan sutradara Robert Wilson berhias tata-musik Rahayu Supanggah pada tanggal 3, 5, 6 dan 7 Juli 2019 di panggung Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta.
Para pemeran bertutur lewat tari dan gerak tubuh didukung Soundscape serta penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah yang menggunakan 70 instrumen musik tradisional dari Sulawesi, Jawa, dan Bali.
Perpaduan peralatan musik Nusantara semarak dimainkan oleh 12 musisi pada pergelaran spektakular “I La Galigo” yang terlebih dahulu telah melanglang buana di panggung mancanegara.
Rhoda Graufer
Sebaiknya kita jangan melupakan jasa seorang tokoh yang telah ikut memungkinkan pelestarian bahkan pengembangan mahakaraya wiracarita Sureg Galigo menjadi sebuah mahakarya seni panggung abad XXI.
Saya pribadi beruntung pada belahan awal abad XXI sempat berjumpa dan berdiskusi tentang upaya pengembangan seni tradisional Nusantara ke kawasan panggung mancanegara dengan beliau.
Tokoh ini bernama Rhoda Grauer yang telah menjadi produser seni, sutradara dan penulis teater, televisi dan radio selama lebih dari 40 tahun. Rhoda mengembangkan program-program kreasinya sendiri serta menghasilkan mahakarya yang melibatkan seniman internasional termasuk: Mikhail Baryshnikov, Savion Glover, Gregory Hines, Jerome Robbins, Malavika Sarukkai, Twyla Tharp, Bando Tomasburo.
Program televisi termasuk DANCING, serial delapan jam tentang tari dunia; Baryshnikov oleh Tharp dengan American Ballet Theatre, Koreografi oleh Jerome Robbins dengan New York City Ballet dan Gregory Hines: Tap Dance.
DANCING, dan buku pendampingnya, telah menjadi dasar dari banyak program studi perguruan tinggi tentang kebudayaan dunia. Karya Rhoda Grauer telah mendapat dukungan dari Endowment Nasional untuk Seni, Endowmen Nasional Kemanusiaan, Lila Wallace Readers Digest Fund, Ford, Rockefeller, Freeman, Jepang dan Yayasan Hoso Bunka, Perusahaan untuk Sistem Penyiaran Publik, Radio Publik Internasional, Dewan Kebudayaan Asia dan telah memperoleh penghargaan Emmy dan Golden Globe.
Indonesia
Rhoda Grauer yang sangat cinta kebudayaan Nusantara ikut mendirikan Yayasan Kelola, sebuah organisasi layanan nasional Indonesia untuk seni dan budaya. Rhoda Grauer juga menyutradarai film-film dokumenter tentang para tetua seni tradisional Nusantara dan melakukan penelitian ekstensif untuk Ford Foundation serta bergabung ke Purnati Indonesia yang memproduksi mahakarya sendratari “ I La Galigo”.
Penulis adalah pendiri Jaya Suprana School of Performing Arts dan Sanggar Pembelajaran Kebudayaan Dunia
KOMENTAR ANDA