HALAL tourism di Pantai Pulau Santen, Banyuwangi, Jawa Timur, sedang jadi kontrovesi. Ada anggapan wisata halal yang dikembangkan di Banyuwangi sama dengan "arabisasi".
Pemkab Banyuwangi baru-baru ini menjelaskan bahwa konsep halal tourism yang mereka adopsi dalam rangka menciptakan pasar yang tersegmentasi di tengah persaingan yang ketat. Sama sekali bukan soal “arabisasi”.
“Ada pasar wisatawan perempuan yang ingin berwisata pantai tanpa campur dengan pria. Segmen pasar seperti itu ada, meskipun ceruknya mungkin sangat sedikit,” ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayan Pemkab Banyuwangi, MY Bramuda.
“Kita mencoba menangkap potensi itu. Ini murni soal pasar. Sama seperti di Timur Tengah, Jepang, Thailand, Korea juga ada segmen-segmen leisure semacam itu dan dikembangkan secara massif. Tidak ada tendensi yang lain,” sambungnya.
Bramuda menambahkan, dari 177 kilometer panjang pantai di Banyuwangi, yang mengadopsi konsep halal tourism hanya sepanjang 750 meter atau 3/4 kilometer.
“Itu (panjang pantai halal) menegaskan bahwa ini soal urusan pasar semata. Banyuwangi menyediakan pilihan. Ini bukan maksiat atau tidak maksiat, tapi soal pasar, urusan segmentasi saja. Ketika dikembangkan beberapa tahun lalu ada segmen pasar seperti itu,” kata dia lagi.
Juga dikatakan oleh Bramuda bahwa pantai tersebut bertempat di lahan milik TNI AD yang saat ini sedang ditata ulang. Pengelolaan pantai itu di masa mendatang akan tetap melibatkan kelompok masyarakat setempat dan diharapkan sungguh-sungguh bisa menjadi pantai yang halal and friendly tourism.
Sebelum dikembangkan, kawasan pantai tersebut relatif kumuh. Akses jembatan menuju ke sana juga belum bagus. Pemkab Banyuwangi melakukan penataan beberapa waktu lalu, termasuk melatih kelompok masyarakat setempat. Sejak itu perlahan tapi pasti pantai tersebut mulai ramai dikunjungi wisatawan.
“Sekali lagi, kita bicara mekanisme pasar. Sekarang pasar kurang meminati, itu adalah mekanisme pasar. Jadi sekali lagi, ini urusan segmentasi pasar, bukan soal ideologi yang dipelintir sampai akan melakukan arabisasi,” ujarnya.
Banyuwangi, sambung Bramuda, sebagai destinasi wisata selama ini dikenal dengan berbagai atraksi seni-budaya berbasis kearifan lokal khas Suku Osing yang merupakan kelompok masyarakat asli setempat.
Dari 99 festival wisata setiap tahun di Banyuwangi, sekitar 75 persen mengangkat kebudayaan, mulai Tari Gandrung, ritual adat kebo-keboan, hingga ritual adat Tari Seblang, Barong Ider Bumi.
“Setiap hari ada event budaya di alun-alun Banyuwangi yang dimainkan para seniman cilik sebagai peristiwa pariwisata sekaligus regenerasi para pelaku seni,” papar Bramuda.
KOMENTAR ANDA