PADA pertengahan tahun 2010 lalu dunia jurnalistik dikejutkan setelah seorang wanita yang tiba-tiba dipecat dari kedudukannya pada sebuah kantor redaksi berita internasional karena tulisan di twitter pribadinya yang menyatakan belasungkawa atas wafatnya penulis buku ini, Mohammad Hussain Fadhullah, pada 4 Juli 2010 silam.
Nama wanita itu Octavia Nasr, seorang wanita keturunan Lebanon-Amerika yang beragama Kristen, editor senior kantor berita CNN Amerika.
Ia tetap tidak bergeming untuk mempertahankan sikap setelah ia pernah bertemu dengan sang penulis dan mewawancarainya.
Kekagumannya pada sang penulis yang juga merupakan seorang ulama kenamaan di Timur Tengah yang barat menjulukinya sebagai “dewa” Hizbullah, sang inisiator dan influencer gerakan perlawanan Hizbullah atas agresi Israel 1982 silam, membuatnya merelakan kehilangan pekerjaannya, demi prinsipnya, demi toleransinya dan penghargaannya atas perjuangan sang penulis dalam menghidupkan dialog antar umat beragama dan seagama di bekas negerinya, dan dunia.
Buku yang Anda pegang ini adalah terjemahan dari sebuah buku yang saya beli dari sebuah toko kecil di pinggiran kota Beirut, Lebanon. Negara yang pernah dilanda perang saudara antar umat beragama dan seagama selama puluhan tahun, yang dampaknya masih dapat dirasakan hingga saat ini.
***
Judul buku: Islam Agama Dialog
Judul Asli Bahasa arab: Al Hiwaar fil Quraan
Judul Asli Bahasa Inggris: Islam the Religion of Dialogue
Karya: Mohammad Hussain Fadhullah
Jumlah halaman: 350 hal
Cetakan I: Maret 2019
Penerbit: Alternatif
***
Harga buku itu mungkin setara dengan shawarma khas Lebanon. Murah. Memang dijual bukan untuk mencari keuntungan tetapi untuk menawarkan pemikiran dan pengetahuan yang tak ternilai, bagi yang mengetahuinya.
Cukup mengejutkan ternyata buku ini telah dicetak berkali-kali sejak penerbitan pertamanya pada tahun 1976. Dan ternyata isi buku ini pun memang tak ternilai harganya bagi sebuah usaha untuk menyadarkan Umat beragama pada umumnya, dan Umat Islam pada khususnya, agar menjunjung tinggi dialog sebagai alat untuk menciptakan masyarakat madani, masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman (plural).
Banyaknya perbedaan pemikiran adalah sebagai konsekuensi logis hadirnya Islam sebagai pencerah, penggugah, dan pembangkit semangat berpikir manusia, bukan hanya bagi kaum muslimin namun untuk seluruh umat.
Terlebih kita merasakan bagaimana nilai-nilai kebersamaan dalam konteks kenegaraan, kebangsaan yang menjunjung tinggi semangat berbineka Tunggal Ika bangsa Indonesia mulai pudar, atau terabaikan. Ego kelompok baik seagama ataupun antar umat beragama kita rasakan menguat dan mengkristal, menjadi potensi-potensi konflik yang dapat memicu konflik nyata tak berkesudahan.
Islam, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, menjadikan dialog sebagai, bukan saja sarana untuk menciptakan kebersamaan, namun juga ideologi Agama. Islam, di dalam Al Qur’an, menceritakan perjalanan umat manusia bahkan sejak Nabi kita Adam as. hingga penutup kenabian, Muhammad saw., yang melewati peristiwa-peristiwa dialog yang banyak diabadikan di dalamnya.
Ketika Allah swt. mengajak Iblis berdialog dengan memintanya untuk menjelaskan penolakannya untuk sujud di hadapan Adam as., maka ketika itu pula manusia telah diajarkan tentang pentingnya berdialog, karena Allah swt., Tuhan Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi tetap memberikan kesempatan kepada Iblis untuk menjelaskan keberatannya.
Dialog adalah jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul, dan juga oleh orang-orang saleh dan bijaksana pada masa lampau. Dialog adalah cara terbaik bagi manusia untuk mencapai kebersamaan, saling memahami dengan landasan-landasan yang lebih mengedepankan akal ketimbang emosional.
Lalu mengapa kita mengabaikan dialog sebagai pilar utama kebersamaan? Mengapa kita bersikap seolah lebih dari Tuhan Yang Maha Tahu dengan menghakimi orang lain tanpa berdialog dengan jujur dan terbuka? Mengapa kita abai terhadap jalan-jalan dialog yang telah ditempuh oleh para nabi dan Rasul yang direkam secara baik oleh Al Qur’an?
Fadhlullah adalah sosok yang menarik, dimana beliau dapat menggabungkan antara gelora perjuangan dalam melawan penindasan yang tentu saja diiringi dengan gagasan-gagasan yang sangat keras, namun di saat yang sama beliau tidak ada hentinya menyerukan dialog dalam setiap penyelesaian persoalan bangsanya dan umat Islam, dengan keramahan, kesantunan dan keterbukaan Mungkin tampak sebagai sikap kontradiktif bagi para penentangnya.
Namun justru di situlah beliau menunjukkan garis yang jelas yang memisahkan antara ketegasan dan toleransi. Jika tidak menghadiri undangan maka beliau mengundang siapa pun yang berbeda pendapat dengannya, atau pihak yang saling berselisih untuk berdialog.
Seruan Fadhlullah pada pendekatan melalui dialog adalah upaya untuk menyembuhkan luka-luka madzhabiyah dan diniyah – seperti tokoh muda Ali Syariati di Persia – bagaikan kokok ayam yang membangunkan mereka yang terlelap dalam kegelapan fanatisme mazhab dan agama, dalam buaian semangat sektarian, keterbelakangan dan kekakuan beragama.
Beliau jujur akan kelemahan yang ada pada umat Islam, yang terkotak-kotak dalam mazhab pemikiran dan fikih, dan karenanya beliau bangkit untuk menguatkannya melalui dialog-dialog yang jujur dan terbuka.
Beliau bergerak bagai lokomotif pengetahuan yang menderu melintasi masa, dimana beliau menggilas setiap penghalang yang menjadi rintangan bangsanya dan umat manusia dalam melakukan dialog yang menuju kepada kesepahaman bersama.
Beliau adalah lonceng yang berdentang keras yang menyentak mereka yang asyik masyuk dalam kubangan perdebatan sejarah yang justru menciptakan konflik tak berkesudahan, dan baginya dialog adalah cara terbaik yang diajarkan Tuhan dan para nabi, dan untuk itu beliau menulis buku ini.
M. Baagil
embaagil@gmail.com
KOMENTAR ANDA