BEREDAR luas di grup WA: Mobil terbaik dari Jerman. Rumah terbaik dari Swiss. Istri terbaik dari Jepang. Orang tua terbaik Tionghoa.
Saya mampir ke sebuah rumah yang halamannya saja 12 hektare. Yakni setelah saya selesai berbincang di salah satu pusat riset Kansas State University. Sabtu lalu.
Saya menikmati halamannya yang begitu luas. Begitu hijau. Dengan pemandangan hutan di belakang rumah. Hamparan gandum di depan. Di kejauhan. Yang sudah siap dipanen.
Saya masuk ke rumah itu. Sampai ke dapurnya. Saya lihat ada lukisan besar di dinding dapur. Lukisan pemandangan hijau. Pemandangan hutan di kejauhan.
Ups. Itu bukan lukisan. Ternyata itu jendela besar. Di dinding dapur. Hutan di lukisan itu ternyata hutan beneran. Di luar sana.
Apakah pemilik rumah itu orang kaya raya?
Sampai halamannya 12 ha?
Namanya: Rich Weber. Umurnya 78 tahun.
Ia bukan kaya raya. Bahkan bukan kaya. Ia pensiunan guru SMA.
Istrinya sudah berumur 76 tahun. Pensiunan pegawai penjara. Dia kuliah di ilmu perpustakaan. Tugasnya di penjara adalah di perpustakaannya.
Rumah itu hanya dihuni dua orang tua itu. Dua anaknya bekerja di kota lain. Yang terdekat berjarak 300 km. Yang perempuan belum mau kawin.
Fisik sang istri sangat lemah. Ia menderita alzheimer.
Kami pun ngobrol di ruang tamu. Hanya sebesar ruang tamu rumah type 70. Dapurnya juga sempit. Hanya cukup untuk kulkas besar, tempat cuci piring dan kompor. Laci-laci di atas kompor itu.
Mereka tidak mau rumahnya besar, halamannya sempit. Membersihkan rumahnya berat. Dan lagi hanya berdua.
Tetangga terdekatnya amat jauh. Kira-kira setengah kilometer dari rumahnya.
Itulah prinsip hidup keluarga Amerika.
"Muda menyiapkan anaknya, tua tidak mau merepotkan anaknya".
Mereka tidak akan pernah mengeluh: kok anaknya tidak mau merawatnya. Pun kalau anaknya mau. Mereka tidak mau.
Mengapa ada adagium “orang tua terbaik adalah orang Tionghoa?”
Menurut adagium itu orang tua Tionghoa bekerja keras untuk anaknya. Berhemat untuk anaknya. Menumpuk harta untuk anaknya. Sampai lupa memikirkan diri sendiri. Di masa tuanya marah-marah. Dalam hati. Kok anaknya tidak mau membalas budi.
Bahkan sering bertengkar. Sang anak sudah merasa mengabdi. Orang tua merasa belum sebanding. Dengan pengorbanan mereka.
Sering ada lelucon. Sang anak ngotot. "Saya kan sudah mengabdi. Sudah saya carikan rumah jompo. Agar orang tua saya bisa bersosialisasi dengan sesama orang tua".
Tentu tidak semua orang Tionghoa begitu. Juga tidak semua orang Amerika begitu.
KOMENTAR ANDA