SESEORANG tidak akan pernah tahu pasti, amalan mana yang telah dilakukannya yang akan diterima oleh Allah. Kita juga tidak akan pernah tahu secara pasti amalan manakah yang dapat mengantarkan kita ke surga. Itu sebabnya jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun.
Allah Subhanahu Wa taala berfirman dalam Al Quran Surat Al Anbiya: 47
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ
“Dan Kami letakkan timbangan keadilan pada hari kiamat. Maka tidaklah akan dizalimi seorangpun sedikitpun. Sekalipun (keadaan kebaikan atau kejelekan tersebut) sebesar biji sawi akan Kami datangkan dengannya (perhitungan dan pembalasannya). Dan cukuplah Kami sebagai penghitung.” (QS 21-Al Anbiya ayat 47)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ المْعَرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, sekalipun (hanya sekadar) engkau memberikan kepada saudaramu wajah yang berseri-seri.” [HR Imam Muslim].
Salah satu sosok shahabiyah yang mungkin amalannya sangat ringan, akan tetapi ternyata amalan tersebut membekas di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga dia berhak mendapatkan doa Rasul di penghujung hayatnya. Dia adalah Ummu Mahjan Al Anshariyah Radhiyallahu ‘anha.
Dari sebuah hadis Muttafaqun ‘ alaihi yang menceritakan tentang seorang perempuan berkulit hitam, yang biasa menyapu masjid di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -فِي قِصَّةِ الْمَرْأَةِ الَّتِي كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ- قَال: فَسَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: مَاتَتْ, فَقَالَ: “أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي”? فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا”, فَدَلُّوهُ, فَصَلَّى عَلَيْهَا.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkisah tentang seorang wanita yang biasa membersihkan masjid (di masa Nabi).
Beliau seorang wanita yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, bahwa beliau tinggal di Madinah [Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (VIII/414)].
Beliau hanyalah seorang wanita tua yang miskin dan berkulit hitam. Dia termasuk penduduk asli Madinah. Orang-orang di sekitarnya biasa memanggilnya Ummu Mahjan. Mungkin tiada seorangpun yang pernah terpikir akan meneladani apa yang diperbuat dan dilakukan oleh Ummu Mahjan.
Bahkan mungkin tidak terbesit dalam benak Ummu Mahjan sendiri. Tidak berniat untuk dikenal apalagi dikenang. Beliau hanya sekadar melakukan sesuatu yang bisa dikerjakannya dan berharap sesuatu itu dapat memberikan manfaat baginya di dunia maupun di akhiratnya. Sesungguhnya apa yang dikerjakan oleh Ummu Mahjan?
Ummu Mahjan -sebagaimana telah disebutkan- adalah seorang wanita tua dan miskin. Tidak banyak amalan yang dapat dilakukannya. Tenaganya sudah sangat berkurang dimakan usia, belum lagi keadaannya yang miskin membuatnya terhalang dari melakukan amalan yang berkaitan dengan harta. Tapi hal tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Ia sadar benar bahwa Allah senantiasa membuka pintu kebaikan bagi siapapun yang menghendaki keridaan-Nya.
Maka dengan penuh kesederhanaan Ummu Mahjan mulai menyingsingkan lengannya berupaya memberikan sedikit tenaga yang dimilikinya untuk membersihkan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya sekadar membersihkan masjid. Akan tetapi, siapa yang meremehkan masjid Allah? Berbagai amalan kebaikan dilakukan di sana. Salat lima waktu, halaqah ilmi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tempat para hamba Allah beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka bagi Ummu Mahjan tempat ini haruslah senantiasa dijaga kebersihannya.
Ia lakukan amalan ini dengan penuh kesungguhan. Setiap mendekati waktu-waktu salat, di setiap harinya, ia berusaha tidak terluput dari menjaga kebersihannya. Demikian senantiasa dia lakukan hingga ajal menjemputnya.
MasyaAllah. Mungkin itulah sebabnya, mungkin awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenalnya, akan tetapi karena seringnya Rasulullah melihat dan bertemu dengannya ketika sedang membersihkan masjid, maka ketika ia tidak ada, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan dirinya.
Dikisahkan dari buku Al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah (VIII/187), ketika Ummu Mahjan wafat, para shahabat Ridhwanullahi ‘Alaihim membawa jenazahnya setelah malam menjelang dan mereka mendapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam masih tertidur. Mereka pun tidak ingin membangunkan beliau, sehingga mereka langsung menshalatkan dan menguburkannya di Baqi‘ul Gharqad.
Keesokan di pagi harinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan wanita itu, kemudian beliau tanyakan kepada para sahabat, mereka menjawab, “Beliau telah wafat dan dikubur wahai Rasulullah, kami telah mendatangi anda dan kami dapatkan anda masih dalam keadaan tidur sehingga kami tidak ingin membangunkan anda.”
Rasulullah bertanya: “Mengapa kalian tidak mengabariku?” Seakan Rasulullah menyalahkan keputusan sahabat yang tidak membangunkan beliau. Para sahabat menganggap Ummu Mahjan adalah sosok yang kurang berarti sehingga merasa tidak perlu membangunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara para sahabat berdiri bershaf-shaf di belakang beliau, lantas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bertakbir empat kali, kemudian bersabda:
إِنَّ هٰذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةٌ عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللّٰهَ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ
KOMENTAR ANDA