MEREKA akan 50 tahun. Anak muda yang demo besar di Hongkong kemarin. Yang umur mereka mayoritas di sekitar 20 tahun itu.
Umur 50 tahun masih setengah baya. Saat kelak Hongkong sepenuhnya di bawah kekuasaan Tiongkok: di tahun 2047.
Pada tahun itu konsep 'satu negara dua sistem' berakhir. Selanjutnya terserah Tiongkok: mau tetap “satu negara dua sistem” atau sepenuhnya menjadi seperti Tiongkok. Yang kelak entah seperti apa.
Banyak anak muda itu berpikiran “satu negara dua sistem” pun akan berakhir. Mereka takut tidak ada lagi kebebasan. Berakhirlah demokrasi.
Generasi muda Hongkong tentu mewarisi cerita horor. Yang serba menakutkan. Tentang Tiongkok. Yang diceritakan oleh kakek-nenek. Atau orang tua mereka.
Kisah yang paling mengerikan tentu kejadian tahun 1966. Persis di saat Indonesia juga mengalami bencana besar: G30S/PKI.
Saat itu Mao Zedong melancarkan satu revolusi. Disebut “Revolusi Kebudayaan”. 文化大革命. Orang kaya, orang terdidik, dan orang kota harus pindah ke desa. Dipaksa. Harus bekerja di sawah. Di ladang. Dengan jatah makan yang minim. Dengan tempat tinggal di barak. Dengan pakaian hanya satu.
Yang membangkang disiksa. Dihinakan. Dibunuh.
Banyak yang tidak kuat bekerja di sawah seperti itu. Mereka melarikan diri ke Hongkong. Dengan risiko terbunuh.
Demikian juga puluhan ribu orang Tionghoa asal Indonesia. Yang dulu pulang ke Tiongkok. Mereka kecele. Baru tiga tahun di Tiongkok terkena Revolusi Kebudayaan.
Tentu banyak yang tidak kuat. Sudah biasa enak di Indonesia. Banyak di antara mereka yang juga lari ke Hongkong.
Salah satu yang lari ke Hongkong itu keluarga Jaya Suprana. Seperti ia tulis di online kemarin.
Saya juga sering ketemu mereka di Hongkong. Sekali waktu ikut mereka. Merayakan 17 Agustus. Ratusan orang. Saling bercakap dalam bahasa Sunda. Atau bahasa Jawa.
Saya juga pernah datang ke kampung-kampung penampungan mereka. Di Liuzho.
Saat itu Hongkong masih di bawah pemerintahan Inggris. Statusnya sewa. Selama 100 tahun. Bukan jajahan.
Sewa itu habis di tahun 1997. Inggris pun mengembalikannya kepada Tiongkok. Dengan syarat yang disetujui bersama. Selama 50 tahun ke depan Tiongkok tidak mengubah sistem hukum di Hongkong. Juga tidak mengubah sistem demokrasinya.
Apakah di tahun 2047 kelak eksistensi Hongkong hilang?
Tentu terserah Tiongkok.
Tapi di Tiongkok sendiri berkembang pemikiran untuk tidak mengubahnya. Bahkan justru Tiongkok yang akan berubah.
Think-thank di Tiongkok sudah agak lama membicarakan konsep masa depan negara itu. Mereka cenderung tidak akan meniru sistem Amerika. Mereka lebih memilih model Jerman.
Belakangan muncul juga pemikiran baru: model Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark).
Saya sering terlibat pembicaraan tidak formal. Dengan orang-orang komunis Tiongkok. Saya pun berani mengatakan pada mereka.
“Sebenarnya justru di Skandinavia-lah cita-cita komunisme tercapai. Tanpa label komunis."
Tentu juga tanpa label agama.
KOMENTAR ANDA