SEHARI setelah PTT (Pertemuan Tingkat Tinggi) MRT 13 Juli 2019, tokoh penegak hukum dan hak perempuan serta anggota Tim Gubernur Jakarta Untuk Percepatan Pembangunan komite Pencegahan Korupsi, Nuryahbani Katjasungkana mengirim pesan singkat kepada saya:
“Di beberapa grup WA dibahas posisi duduk Jokowi (di bawah gambar Togog) dan Prabowo (di bawah gambar Semar). Pak Jaya kerap menulis tentang wayang, maka apakah ada komen dari Pak Jaya?“
Togog
Demi memenuhi titah perintah Ibu Nursyahbani, saya memberanikan diri memberi komentar bukan makna letak duduk Jokowi dan Prabowo tapi fokus tokoh wayang purwa bernama Togog itu.
Memang banyak versi kisah mengenai Togog akibat memang banyak dalang wayang kulit yang masing-masing berhak menciptakan versi sendiri-sendiri saling beda satu dengan lainnya.
Namun menurut pakem Wayang Purwa yang saya pelajari, Togog adalah saudara kandung Semar.
Wayang Purwa
Alkisah pada zaman kadewatan, Sanghyang Wenang menyelenggarkan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga anaknya yang lahir dari sebutir telur.
Lapisan-lapisan telur terdiri dari kulit telur diberi nama Batara Antaga, putih telur diberi nama Batara Ismaya dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya.
(Sebenarnya ada pula versi anak Sanghyang Wenang adalah empat namun sengaja saya hindari demi fokus pada tiga anak saja).
Sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga anaknya dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.
Pada giliran pertama Batara Antaga mencoba melakukannya, tetapi malah mulutnya robek dan dower akibat memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat.
Giliran kedua adalah Batara Ismaya. Ternyata Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi maka perut Batara Ismaya menggelembung buncit .
Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Batara Ismaya maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya alias Batara Guru.
Sementara Batara Antaga yang sudah beralih-rupa menjadi Togog dan Batara Ismaya yang sudah menjadi Semar diutus turun ke marcapada untuk menjadi penasihat, pamong serta pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia.
Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk (Kurawa).
Stigmasisasi
Togog distigmasisasi buruk akibat dianggap berteman dengan orang-orang yang distigmasisasi buruk oleh pihak tertentu.
Maka Togog ikut terseret distigmasisasi sebagai tokoh buruk. Stigmasisasi menular seperti itu jelas tidak adil namun melazim di masyarakat demokratis yang tidak seragam selera.
Justru tugas Togog sebenarnya jauh lebih berat ketimbang tugas Semar. Mendampingi tokoh buruk jelas lebih sulit dan lebih bermasalah ketimbang mendampingi tokoh baik.
Sementara juga bukan berarti kepribadian Togog serta merta hukumnya wajib menjadi buruk akibat mendampingi tokoh buruk. Merubah tokoh buruk menjadi baik jelas lebih sulit ketimbang merubah tokoh baik menjadi tetap baik.
Togog justru membutuhkan enerji budi-pekerti serta mental jauh lebih besar ketimbang Semar demi mampu mendampingi tokoh buruk.
Saya menghormati Semar sebagai suri teladan keadiluhuran budi pekerti namun saya juga menghormati Togog sebagai suri teladan perjuangan jatuh-bangun babak-belur berusaha menyadarkan para tokoh buruk menjadi tokoh baik.
Penulis adalah pembelajar falsafah wayang purwa.
KOMENTAR ANDA