KOMENTAR

INI mungkin tren baru atau saya yang justru baru tahu: khitbah, lamaran, yang tidak ubahnya seperti "walimah" : disyiarkan, berlebihan, dan bermewah-mewah. Apakah Islam memperbolehkanya?

Seperti sebuah buku, khitbah atau lamaran adalah kata pengantar. Kita, misalnya, bisa saja langsung membaca isi buku tanpa perlu mengetahui kata pengantar tersebut. Kendati begitu, biar pandangan kita enak dan utuh atas sebuah buku, alangkah baiknya dianjurkan membaca kata pengantar buku tersebut.

Artinya: khitbah, menurut jumhur ulama fiqih, adalah hal mubah. Dan bisa dianjurkan sekali (mustahabbun) bila itu dirasa perlu. Sebab, hakikat khitbah sejatinya untuk mengetahui dan mengenal pribadi calon pasangan hidup sebelum akad nikah.

Selain itu, tujuan penting lain dari khitbah adalah untuk mengetahui status sudah atau belum dilamarnya seseorang, alias masih available atau tidaknya seseorang. Hal ini mengingat ada beberapa konsuekensi secara hukum Islam yang mesti ditanggung bila statusnya sudah dalam lamaran orang lain yang kiranya bisa bahas dalam lain kesempatan.

Kian kiwari zaman, terutama sekali di negeri ini, cara berislam kita yang suka dengan pengumuman dan iklan di mana-dimana, khitbah menjelma menjadi sebuah kebutuhan. Bagi merek yang seleb, wara-wara di media. Yang bukan bukan seleb, juga suka mensyiarkannya dan—yang miris—memprosesikannya seperti akad nikah dan walimah itu sendiri.

Padahal bila mengacu khazanah Islam, lebih-lebih, bila kita mengikuti jejak dan petuah Rasulullah saw, khitbah adalah wilayah tertutup, tersembunyi, dan bukan konsumsi publik.

"Asirruu al-khitbah wa a'linuu an-nikah...Sembunyikanlah lamaran dan kabarkanlah pernikahan," demikian tegas Nabi. Tak aneh, bila para ulama menganjurkan untuk tidak berisik dan mempublikasikan ihwal lamaran kita ke khalayak ramai. Kalau pun ada orang-orang yang harus tahu, itu cukup orang tua dan keluarga saja.

Kenapa? Sebab, hal tersebut bisa memicu kedengkian dan ketaksenangan di kalangan orang-orang yang tak menyenangi dan lalu merisak rencana baiknya ke gerbang yang sakral: pernikahan.

Agaknya, yang demikian itu kurang lagi menjadi perhatian kita. Maksud kita ingin berbagi kebahagiaan, tapi salah tempat dan situasi dan kondisi. Walhasil: menimbulkan fitnah yang meruyak kemana-mana. Alih-alih, ada unjuk sifat berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan di dalamnya.

 

Bukankah kita kerapkali menjumpai sang pelamar "mendemonstrasikan" status sosial di hadapan orangtua atau wali seseorang yang akan dilamarnya. Ada barang-barang branded yang bila dihitung bisa ratusan hingga miliaran rupiah. Ada item-item material yang harganya bikin sakit hati kaum fakir miskin; pernak pernik perhiasan dan lain sebagainya yang  melampaui batas. Dan ini seperti dimaklumi (atau malah disukai) kedua belah pihak.

Padahal, sikap israf (berlebih-lebihan dan melampaui batas) ini sangat dilarang Ilahi. Firman Allah: “Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’Raf: 31). Apalagi, ini baru chapter pembukaan. Baru kata pengantar. Baru sekadar pendahuluan. Mukaddimah. Belum apa-apa dalam mewujudkan niat baik: bak inti sebuah buku berjudul "menikah".

Ironisnya, hal tersebut terjadi bukan hanya di kalangan selebritas, tapi juga mewabah di kalangan Muslim kota (mungkin juga di desa-desa), atau mungkin juga orang terdekat kita. Entahlah.

Imam Ghazali, suatu kali, pernah berpesan: "Ketika seorang gadis dikhitbah (dilamar) oleh seorang laki-laki, gadis itu memberikan amanat kepada salah seorang anggota keluarganya yang ia percaya untuk meneliti laki-laki itu.

Bila laki-laki yang melamar itu benar-benar jujur, hendaklah ditanyakan kepadanya tentang agamanya, keyakinannya, kehormatan dirinya, dan kesetiaannya pada janji. Kemudian perhatikan pula siapakah orang yang menjaganya di rumah, juga tentang keistikamahanya mendirikan shalat berjamaah, penasihatnya dalam perdagangan atau usahanya. Lalu, katakankah kepadanya bahwa si gadis mementingkan  agamanya, bukan hartanya."

Ujaran Imam Ghazali tersebut tentu saja masih sangat relevan untuk membincang prosesi lamaran di era sekarang ini. Bahwa kita kerap tidak menelisik yang fundamental dalam proses lamaran. Yang mesti diperhatikan bagi kedua belah pihak: ibadahnya, akhlaknya, agamanya. Bukan hartanya. Bukan material yang menempel pada sang pelamar atau yang dilamar.

Wajar, bila jauh-jauh hari Nabi mensyaratkan kualifikasi agamanya dalam memilih calon pendamping hidup kita kelak. Wallahu'alam bishshawab. (F/ Berbagai sumber)




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur