KISAH tentang hikmah kesabaran ini dimulai dari Nabi Ya’kub.
Ini cerita tentang sebenar-benarnya sabar. Semula Nabi Ya’kub sudah curiga, tapi dengan berat hati terpaksa dilepasnya juga Yusuf berpergian bersama kakak-kakak tirinya. Nabi Ya’kub khawatir mereka akan lalai lalu Yusuf yang masih kecil diterkam serigala. Kisah yang populer ini sama-sama kita ketahui endingnya. Para kakak yang dijangkiti penyakit iri itu melakukan kekejian. Yusuf dilempar ke dalam sumur nan dalam. Sebagai dalih, mereka sengaja merobek-robek baju Yusuf dan dilumuri darah supaya dikira diterkam serigala.
Hebatnya, Nabi Ya’kub memiliki ketajaman fisarat seorang mukmin, dia tahu telah dikelabui anak-anaknya. Nabi Ya’kub tidak kuasa menahan kesedihan akibat kehilangan Yusuf dan kepedihan akibat kelakukan buruk anak-anaknya. Dalam situasi yang amat berat itulah Nabi Ya’kub memilih bersabar. Cerita ini disebut dalam Surah Yusuf ayat 83, yang artinya: “Ya'qub berkata, ‘Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka shabrun jamil (sabaran itu indah). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ucapan Nabi Ya’kub itulah dipopulerkan istilah shabrun jamil (sabar itu indah) yang kemudian menjadi tema utama dari tulisan ini.
Menahan Diri
Masalah antar anak yang dihadapi Nabi Ya’kub berada dalam lingkup urusan keluarga. Polemik rumah tangga yang pelik itu dihadapinya dengan kesabaran. Sabar itu penting dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi sabar itu menjadi titik sangat penting tatkala berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ketika Nabi Ya’kub dihadapkan dengan ruwetnya persengketaan antar anak, maka sadarilah bahwa silang sengketa antara suami istri dijamin akan lebih ruwet lagi.
Siapakah orang yang paling banyak kesalahannya di mata suami? Siapa lagi kalau bukan istrinya. Dan siapa pula orang yang paling banyak keburukannya di mata istri? Siapa pula kalau bukan suaminya. Kok bisa begitu?
Ada beberapa penyebab: Pertama, suami istri adalah pihak yang paling sering berjumpa, bergaul bahkan sangat intim. Wajar bila suami sangat banyak melihat keburukan istri, sebaliknya istri pun banyak sekali merasakan kesalahan suaminya.
Kedua, setan paling keras usahanya menggoyahkan hubungan suami istri, karena rusaknya sebuah hubungan pernikahan bukan saja menghacurkan satu rumah tangga, tapi ikut membinasakan masyarakat luas. Suami istri adalah pihak yang paling keras dihantam godaan setan. Bahkan setan membisikkan segala macam prasangka yang membuat istri terlihat buruk oleh suaminya dan suami terlihat jelek oleh istrinya.
Ketiga, suami atau istri yang sering bersikap tidak adil bahkan melihat dirinya sebagai satu-satunya pihak yang benar, akibatnya pasangan mau berada di posisi mana lagi? Maka jadilah pasangan terperangkap dalam posisi salah melulu, bahkan kebaikan yang dilakukannya pun terlihat buruk. Ego merasa kebenaran menjadi milik mutlak diri inilah yang berbahaya, karena memposisikan pasangan jadi serba salah.
Atas pertimbangan di atas, wajar kiranya kalau sabar menjadi teramat berharga dalam pernikahan. Sabar dalam arti menahan diri sekuat-kuatnya hati. Suami maupun istri perlu sama-sama menahan diri. Suami atau istri kita bukanlah Tuhan yang tanpa cacat cela. Jangan pernah berharap pasangan tidak akan pernah salat atau khilaf. Hal-hal kecil jangan dibesar-besarkan.
Perbanyaklah sabar! Seringkali bukan pasangan kita yang salah melainkan prasangka kitalah yang buruk. Sejatinya suami atau istri berniat baik tapi akibat prasangka buruk jadinya malah terlihat salah. Dan kalau pun suami atau istri berbuat salah, toh masih bisa diperbaiki. Mana ada manusia yang tidak pernah salah.
Lantas apa modal kita mengarungi turbulansi dalam gejolak rumah tangga? Apalagi kalau bukan kesabaran. Sebab sabar itu indah, shabrun jamil.
Akal manusia ini memiliki imajinasi yang sangat liar, tidak terduga dan sering tak terkendali. Suami bertanya apakah sudah salat, tetapi istri malah tersinggung karena dalam imajinasinya seolah pertanyaan itu adalah tuduhan kalau dirinya tidak pernah salat.
Saking tersinggungnya istri langsung banting piring dan lempar kuali. Padahal suaminya tidak menuduh, hanya menanyakan dan yang ditanyakan sesuatu yang baik pula. Namun imajinasi istri yang terlalu liar dan akhirnya malah jauh melenceng menjadi buruk sangka.
Oleh sebab itulah, termasuk dalam sikap sabar itu adalah kekuatan dalam menahan diri atau dalam istilah Alquran disebut wal kazhiminal ghaiza (menahan amarah). Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 134, yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Apabila sudah terlatih menahan diri dalam rumah tangga, insya Allah kita akan terbiasa sabar dalam lingkungan di luar rumah. Saat berkendara, kita sabar ada yang memotong jalur secara ugal-ugalan. Kita dapat menahan diri, tidak ikut terpancing ugal-ugalan. Bos marah-marah di kantor, kita pun dapat menahan diri. Jangan karena kena marah bos di kantor, kita balas marah-marah di rumah sendiri.
Mendapatkan Penolong
Namanya Shabir. Nama yang bagus itu artinya orang yang sabar. Namun dia marah-marah ketika sepeda motornya rusak ringan gara-gara dipinjam teman baiknya. Dia terus mengomel meski kerusakan sudah diganti. Lalu orang menasihatinya supaya bersabar. Shabir bertanya dengan galak, “Seperti apa bentuk sabar itu?”
Pada surat Al-Baqarah ayat 153, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Dengan memahami ayat ini, Shabir hendaknya memahami bentuk sabar yang dipertanyakannya, karena sesungguhnya sabar itu adalah penolong. Tidak ada manusia sempurna yang mampu menyelesaikan segalanya sendiri. Dari itulah kita butuh penolong, semakin banyak penolong maka kian ringan langkah di dunia ini. Dalam ayat di atas disebutkan penolong kita adalah salat dan sabar.
KOMENTAR ANDA