KETIKA berkunjung ke Indonesia pada tahun 2017 Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud melaksanakan Salat Jumat di Masjid Agung Ibnu Batutah, Nusa Dua, Bali.
Bahwa sebuah masjid agung Ibnu Batutah didirikan di Pulau Bali dengan mayoritas masyarakat adalah umat Hindu, berarti Ibnu Batutah sangat dihormati di Indonesia.
Penjelajah
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al Lawati At Tanji bin Batutah yang lebih dikenal sebagai Ibnu Batutah (1304 hingga 1369) adalah seorang sarjana muslim Maroko dan penjelajah yang selama saparuh masa hidupnya mengunjungi sebagian besar dunia Islam mau pun non-Islam di Jazirah Arab, Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika.
Menjelang akhir hidupnya, ia mendiktekan kisah perjalanannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Tuhfatun Nuzzar fi Gharaibil Amsar wa Ajaibil Asfar” atau dalam bahasa Indonesia, Hadiah untuk Para Pemerhati Negeri-Negeri Aneh dan Keajaiban Perjalanan.
Marco Polo
Bagi masyarakat Barat, Ibnu Batutah tidak sepopuler Marco Polo padahal jangkauan wilayah yang pernah dikunjungi oleh Ibnu Batutah jauh lebih luas ketimbang Marco Polo, yang di masa kini mulai diragukan para ilmuwan sejarah bahwa pernah benar-benar mengunjungi tempat-tempat yang dikisahkan Marco Polo kepada Rustichello sebagai penulis kisah pengembaraan Marco Polo.
Saya merasa lebih layak menyebut Marco Polo sebagai Ibnu Batutah-nya Italia ketimbang Ibnu Batutah sebagai Marco Polo-nya Maroko.
Samudra Pasai
Setelah kunjungan ke Mesir, Mekkah, Irak, Persia, Samarkan, Maladewa, pada tahun 1345 Ibnu Batutah mendarat di wilayah Kesultanan Samudra Pasai di Aceh masa kini, di mana ia mencatat dalam catatan perjalanannya bahwa penguasa Samudra Pasai adalah seorang muslim bernama Sultan Al Malik Al Zahir Jamal ad Din, yang melakukan tugas keagamaannya dengan penuh semangat dan sering melakukan kampanye melawan paham animisme di wilayah tersebut.
Pada saat itu Samudra Pasai menandai perbatasan akhir Dar al Islam, karena tidak ada wilayah di sebelah timur yang diperintah oleh seorang Muslim.
Menurut Ibnu Batutah, Samudra Pasai kaya akan kapur barus, pinang, cengkeh, dan timah. Tokoh ulama yang dia amati adalah Imam Al Syafii, yang kebiasaannya mirip dengan yang sebelumnya dia lihat di pesisir India, terutama di antara Muslim Mappila.
Di Samudra Pasai, Ibnu Battutah tinggal selama sekitar dua minggu di kota berdinding kayu sebagai tamu sultan, dan kemudian sultan memberinya persediaan dan mengirimnya dalam perjalanan dengan salah satu jungnya sendiri ke Cina.
Ibnu Batutah berlayar ke Malaka di Semenanjung Melayu yang ia sebut "Mul Jawi". Dia bertemu penguasa Malaka dan tinggal sebagai tamu selama tiga hari.
Ibn Batutah kemudian berlayar ke sebuah negara bernama Kaylukari mungkin merujuk ke Po Klong Garai di Champa (sekarang Vietnam). Dari Kaylukari, Ibnu Batutah pada tahun 1345 mencapai Quanzhou di Provinsi Fujian, China.
Masjid Agung Ibnu Batutah
Dari China, Ibnu Batutah berlayar ke Basra, Mekah, Sardinia, Fez, Tangier, kemudian mengunjungi Valencia dan Granada. Di usia senjanya, Ibnu Batutah masih sempat berkelana ke Taghaza bahkan sampai ke Timbuktu, Mali sebelum kembali lagi ke Maroko untuk menghembuskan nafas terakhir di Tanah Air Udaranya pada tahun 1369.
Sementara pada masa itu orang lain lazimnya melakukan perjalanan demi perdagangan maka Ibnu Batutah melanglang-buana demi mempelajari peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa di planet bumi ini.
Saya pribadi mengagumi dan menghormati Ibnu Batutah sebagai pelopor penulisan jurnalisme perjalanan wisata dunia.
Penulis mempelajari sejarah peradaban dan kebudayaan dunia.
KOMENTAR ANDA